Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta berkaca oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) setelah menilai pemberantasan korupsi di Indonesia belum maksimal. Tak hanya itu, dia dianggap kerap menebar janji manis terhadap upaya memberantas praktik rasuah.

Saat membuka Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021, Presiden Jokowi sempat mengapresiasi hasil kerja aparat penegak hukum termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, dia memamerkan kinerja Kejaksaan Agung yang telah berhasil mengusut dugaan korupsi di tubuh PT Asabri dan Jiwasraya.

Namun, eks Gubernur DKI Jakarta ini meminta para penegak hukum tidak lantas jemawa. Apalagi, masyarakat masih menilai upaya pemberantasan korupsi di dalam negeri belum cukup baik.

"Aparat penegak hukum termasuk KPK, sekali lagi jangan cepat berpuas diri dulu karena penilaian masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi masih dinilai belum baik. Kita semua harus sadar mengenai ini," kata Jokowi dalam sambutannya, Kamis, 9 Desember.

Jokowi juga menyinggung soal Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020. Menurutnya, perbaikan perlu dilakukan apalagi posisi Indonesia jauh dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

"Kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indeks Persepsi Korupsi kita di 2020 juga masih perlu kita perbaiki," ujarnya.

"Singapura di ranking ketiga. Brunei Darussalam di ranking 35. Ini di Asia dari 180 negara. Singapura, sekali lagi, di ranking ketiga, Brunei (Darussalam, red) ranking 35, Malaysia ranking 57, dan Indonesia masih di ranking 102. Ini yang memerlukan kerja keras kita untuk memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi," imbuhnya.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana pun bereaksi dengan pernyataan tersebut. Dia bilang, Presiden Jokowi harusnya berkaca dan menyadari mengapa pemberantasan korupsi di Indonesia hingga kini belum membaik.

Menurutnya, tidak adanya ketegasan dari kepala negara dalam penegakan hukum utamanya terkait korupsi membuat upaya melakukan pemberantasan tidak maksimal. Bahkan, ICW menyebut Jokowi kerap menebar janji manis dalam upaya ini.

"Masyarakat dapat menilai bahwa Presiden seringkali hanya menebar janji-janji manis pemberantasan korupsi," kata Kurnia dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat, 10 Desember.

Salah satu pernyataan yang mendapat perhatian dari Kurnia adalah perihal RUU Perampasan Aset untuk segera diundangkan paling lambat tahun depan. Menurutnya, apa yang disampaikan Jokowi ini tidak sesuai dengan kenyataan sehingga dapat dianggap sebagai janji manis belaka.

"Misalnya, Presiden dalam pidato Hakordia kemarin mendorong agar tahun depan RUU Perampasan Aset bisa diundangkan. Bagi ICW, pernyataan itu tidak sesuai dengan realita hari ini," ujarnya.

Sehingga, alih-alih meminta aparat penegak hukum untuk maksimal bekerja, Kurnia bilang, Jokowi harusnya lebih dulu membenahi dirinya terutama dalam komitmen pemberantasan korupsi.

"Pihak yang paling pertama harus sadar dan berbenah karena pemberantasan korupsi belum membaik adalah Presiden Joko Widodo sendiri. Sebab problematika penegakan hukum hari ini adalah ketiadaan sikap yang jelas dari presiden," tegas pegiat antikorupsi itu.

Selain itu, ICW juga menyayangkan Jokowi tidak secara langsung menegur KPK karena kegaduhan yang dibuat oleh Firli Bahuri dkk. Kurnia bilang, teguran itu harusnya diciptakan karena banyak hal gaduh yang terjadi di komisi antirasuah belakangan ini dan salah satunya adalah Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Diketahui, akibat Asesmen TWK itu puluhan pegawai KPK harus tersingkir karena gagal menjadi aparatur sipil negara termasuk Novel Baswedan. "ICW juga menyayangkan Presiden tidak menyinggung kegaduhan demi kegaduhan yang selalu diciptakan oleh Pimpinan KPK," ujar Kurnia.

Menurutnya, kegaduhan inilah yang jadi alasan mengapa kinerja KPK kini terganggu. "Sebagai Kepala Negara, Presiden harusnya menegur pimpinan KPK," ungkapnya.

"Sebab, akibat kegaduhan yang tak berkesudahan roda kerja KPK terganggu dan capaiannya juga jauh dari kata ideal, terutama dalam lingkup penindakan," pungkas Kurnia.