JAKARTA - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin mendapat rapor merah di bidang pemberantasan korupsi hingga kemiskinan. Hasil kurang baik ini didapat dari hasil jajak pendapat Indopol Survey and Consulting yang dilaksanakan sejak 19-27 November.
"Rapor merah pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin di mata publik dalam hal pemberantasan korupsi, penanganan pengangguran, dan kemiskinan," kata Direktur Eksekutif Indopol Ratno Sulistiyanto yang dikutip dari keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin, 13 Desember.
Meski dapat rapor merah di tiga bidang itu, Ratno mengatakan, pemerintah tetap mendapat apresiasi positif dalam lima hal. Pertama, terkait terjaganya toleransi kehidupan beragama. Berikutnya adalah karena ketersediaan BBM dan listrik. Ketiga dalam hal penanganan pandemi COVID-19.
Keempat, apresiasi diberikan masyarakat karena pelayanan publik yang baik. Terakhir, apresiasi masyarakat muncul karena pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin banyak membangun infrastruktur seperti jalan, jembatan, air bersih, dan berbagai infrastruktur lainnya.
Presiden Jokowi sebenarnya sudah memahami upaya pemberantasan korupsi saat ini belum dinilai baik oleh masyarakat. Hal ini bahkan disampaikannya ketika membuka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021 pada Kamis, 9 Desember lalu.
Saat itu, eks Gubernur DKI Jakarta tersebut mengapresiasi tapi juga meminta aparat penegak hukum yang mengurusi masalah korupsi tidak jemawa dengan pekerjaan mereka.
"Aparat penegak hukum termasuk KPK, sekali lagi jangan cepat berpuas diri dulu karena penilaian masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi masih dinilai belum baik. Kita semua harus sadar mengenai ini," kata Jokowi dalam sambutannya, Kamis, 9 Desember.
Lebih lanjut, Jokowi mengakui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 lalu kalah dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sehingga, perbaikan perlu dilakukan agar bisa menyusul ketiga negara tersebut.
"Kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indeks Persepsi Korupsi kita di 2020 juga masih perlu kita perbaiki," ungkap eks Gubernur DKI Jakarta tersebut.
"Singapura di ranking ketiga. Brunei Darussalam di ranking 35. Ini di Asia dari 180 negara. Singapura, sekali lagi, di ranking ketiga, Brunei (Darussalam, red) ranking 35, Malaysia ranking 57, dan Indonesia masih di ranking 102. Ini yang memerlukan kerja keras kita untuk memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi," imbuh Jokowi.
BACA JUGA:
Tak hanya itu, dia juga mengingatkan pemberantasan korupsi harus lebih digencarkan karena masifnya perhatian dari masyarakat. Menurut Jokowi, masalah korupsi menjadi hal kedua yang harus diselesaikan berdasarkan hasil jajak pendapat sebuah lembaga survei nasional.
Sementara pada peringkat pertama adalah perihal penciptaan lapangan kerja dan peringkat ketiga adalah harga kebutuhan pokok.
Jokowi boleh saja meminta aparat penegak hukum untuk tidak berpuas diri karena upaya pemberantasan korupsi masih dinilai belum baik. Tapi, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan presiden seharusnya berkaca dan menyadari alasan di balik belum maksimalnya upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Menurutnya, tidak adanya ketegasan dari kepala negara dalam penegakan hukum utamanya terkait korupsi membuat upaya melakukan pemberantasan tidak maksimal. Bahkan, ICW menyebut Jokowi kerap menebar janji manis dalam upaya ini.
"Masyarakat dapat menilai bahwa Presiden seringkali hanya menebar janji-janji manis pemberantasan korupsi," kata Kurnia dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat, 10 Desember.
Salah satu pernyataan yang mendapat perhatian dari Kurnia adalah perihal RUU Perampasan Aset untuk segera diundangkan paling lambat tahun depan. Menurutnya, apa yang disampaikan Jokowi ini tidak sesuai dengan kenyataan sehingga dapat dianggap sebagai janji manis belaka.
"Misalnya, Presiden dalam pidato Hakordia kemarin mendorong agar tahun depan RUU Perampasan Aset bisa diundangkan. Bagi ICW, pernyataan itu tidak sesuai dengan realita hari ini," ujarnya.
Sehingga, alih-alih meminta aparat penegak hukum untuk maksimal bekerja, Kurnia bilang, Jokowi harusnya lebih dulu membenahi dirinya terutama dalam komitmen pemberantasan korupsi.
"Pihak yang paling pertama harus sadar dan berbenah karena pemberantasan korupsi belum membaik adalah Presiden Joko Widodo sendiri. Sebab problematika penegakan hukum hari ini adalah ketiadaan sikap yang jelas dari presiden," pungkas pegiat antikorupsi itu.