Formappi Beri Rapor Merah ke DPR Menyusul Lemahnya Kinerja Legislasi
Ilustrasi (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Formappi menilai kinerja DPR RI selama masa sidang I Tahun Sidang 2021-2022 kembali menorehkan angka merah dengan hanya mampu menghasilkan 1 RUU Prioritas yakni RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Padahal Ketua DPR RI menyodorkan 7 RUU Prioritas untuk dibahas.

Penanggung jawab Bidang Legislasi Formappi, Lucius Karus menjelaskan, DPR hanya berhasil menyetujui empat RUU Kumulatif Terbuka. 

Pertama, RUU tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (21 September 2021). Kedua RUU tentang Persetujuan ASEAN tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (7 September 2021). 

"Ketiga RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2020 (7 September 2021). Keemat RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2022 (7 Oktober 2021)," ujar Lucius Karus, dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 29 Oktober. 

Menurutnya, pengesahan 4 RUU Kumulatif Terbuka memang menjadi berkah bagi DPR untuk menutup borok lemahnya kinerja legislasi. Apalagi pengesahan dua RUU terkait APBN memang sudah seharusnya terjadi karena tuntutan siklus anggaran yang tak terelakkan dan bagian dari pengejawantahan Fungsi Anggaran DPR.

"Pengesahan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) memang disambut secara tenang oleh publik. Tak ada gerakan-gerakan dari elemen masyarakat sipil, mahasiswa maupun publik luas. Di media sosial juga kritik publik jarang muncul," ucapnya. 

Dari proses pembahasan yang terekam pada website DPR, lanjut Lucius, kecenderungan proses pembahasannya yang mengabaikan partisipasi publik. Terlihat sedikit ruang yang disediakan DPR dan Pemerintah untuk mensosialisasikan proses dan substansi pembahasan serta untuk mendapatkan masukan dari publik.

"Padahal pajak merupakan kewajiban seluruh subyek pajak Indonesia. Dengan demikian tak bisa dipahami ketika pembicaraan atas sesuatu yang merupakan kewajiban warga negara ini justru tidak melibatkan publik secara luas," tambahnya.

Dikatakan Lucius, rendahnya produktivitas bidang legislasi DPR tersebut ditingkahi dengan keputusan 'gila' dengan menambah 4 RUU baru dalam Daftar Prioritas 2021, yaitu RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pemasyarakatan, RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan RUU tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Sulit memahami cara berpikir DPR yang membuat rencana baru justru tatkala mereka seharusnya akan mengakhiri periode pelaksanaan atasrencana setahun yang sudah ditetapkan sejak awal tahun," katanya.

Berdasarkan catatan yang ditampilkan melalui website DPR RI, progres pembahasan atas 37 RUU Prioritas 2021 nampak stagnan dengan banyaknya RUU (14 RUU) yang proses pembentukannya memasuki tahap Pembicaraan Tingkat 1 (pembahasan) di berbagai alat kelengkapan DPR.

6 RUU masih dalam tahapan penyusunan, 4 RUU dalam proses Penetapan Usul, 9 RUU belum tersentuh sama sekali. Belum lagi tiga Surat Presiden (Surpres) yang disampaikan kepada DPR untuk membahas RUU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama di 5 provinsi, yakni Bali, Papua Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara dan Sulawesi Barat.

Kemudian RUU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi di 4 provinsi, yakni Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara dan Papua Barat, serta RUU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di 4 provinsi, yakni Palembang, Banjarmasin, Manado dan Mataram.

Dari perkembangan proses pembahasan RUU seperti di atas, terlihat betapa beratnya beban AKD DPR dalam menjalankan fungsi legislasi. Di waktu bersamaan AKD tertentu melakukan penyusunan sekaligus pembahasan RUU.

"Tentu saja beban ganda membahas lebih dari satu RUU pada AKD tertentu akan memecah fokus mereka untuk menyelesaikan salah satu RUU. Cara kerja seperti ini sangat mungkin menjadi salah satu penyebab minimnya RUU yang bisa diselesaikan," pungkasnya.