Bagikan:

JAKARTA - Salah satu fungsi DPR adalah legislasi. Mereka punya wewenang untuk ,enyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU). Tapi fungsi ini tak mau dijadikan acuan seberapa besar produktivitas mereka dalam bekerja.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Sodik Mudjahid tegas mengatakan, jumlah produk legislasi yang dihasilkan tidak menggambarkan produktivitas DPR. Walau memiliki fungsi legislasi, produktivitas DPR dalam menghasilkan produk perundang-undangan jangan ditentukan oleh jumlah Undang-Undang yang disahkan.

Penjelasan Sodik ini disampaikan kala menjadi pembicara pada diskusi Forum Legislasi di Media Center DPR, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa, 14 Juli. Diskusi ini mengambil tema "Revisi Prolegnas 2020, Berdampak Tingkatkan Kinerja Legislasi DPR?”. Selain Sodik, hadir pula sebagai pembicara Wakil Ketua Baleg Ahmad Baidowi dan pakar hukum tata negara Margarito Kamis. 

Dilansir dari laman resmi parlemen, isu ini mengemuka setelah Baleg merevisi daftar 50 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 menjadi 36 RUU.

DPR bukan industri, sehingga tidak bisa diukur produktivitasnya dengan jumlah.

Politisi Gerindra, Sodik Mudjahid

Sodik mencontohkan, salah satu RUU yang mengalami penundaan adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). RUU ini ditunda lantaran menimbulkan pro kontra. Antara yang mendukung dan menolak sebenarnya sama kuat. Jadi dilakukan penundaan. 

"Itu langkah terbaik, karena undang-undang diadakan untuk mengakomodasi partisipasi dan untuk memberikan manfaat kepada seluruh bangsa," ucap pria dapil Jawa Barat I tersebut.


Data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menunjukkan, pencapaian legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2014-2019 lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Tercatat DPR periode 2014-2019 hanya mengesahkan 84 Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan komposisi 49 kumulatif terbuka dan 35 program legislasi nasional (Prolegnas). 

Pada periode sebelumnya, DPR mengesahkan 125 RUU dengan komposisi 56 RUU kumulatif terbuka dan 69 RUU dalam Prolegnas. Selain itu Formappi juga menyebutkan terdapat empat RUU tambahan Prolegnas yang tidak terencana serta dikebut pada penghujung masa jabatan DPR, seperti revisi ketiga Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan revisi UU Perkawinan.