Bagikan:

JAKARTA - Polisi menemukan dugaan penyelewangan dana bantuan sosial (bansos) COVID-19. Dari puluhan kasus yang dilaporkan, paling banyak terjadi di Sumatera Utara.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono mengungkapkan, sejauh ini, sebanyak 55 laporan sudah diterima di sejumlah Polda di Indonesia. Laporan tersebut kini masuk proses penyelidikan.

"Data yang kami terima 55 kasus di 12 polda yaitu Sumatera Utara 31 kasus Riau 5 kasus, Banten, NTT, Sulawesi Tengah masing-masing 3 kasus, Jawa Timur, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) masing-masing 2 kasus dan Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Sumatera Barat masing-masing ada 1 kasus," ucap Awi di Jakarta, Selasa, 14 Juli

Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, ada beberapa motif yang digunakan dalam penyelewengan dana bansos tersebut. 

"Pertama pemotongan dana dan pembagian tidak merata, kedua pemotongan dana sengaja dilakukan perangkat desa dengan maksud azas keadilan bagi mereka yang tidak menerima hal tersebut sudah diketahui dan disetujui yang menerima bansos," papar Awi.

Modus ketiga, lanjutnya, adalah pemotongan nomial uang dengan alasan kompensasi mengurus distribusi atau uang lelah. Selanjutnya, adanya pelanggaran dengan mengurangi timbangan paket sembako.

"Kelima, tidak ada transparansi kepada masyarakat terkait sistem pembagain dan dana yang diterima," pungkas Awi.

Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan, bantuan sosial pemerintah ini sudah menyentuh 50 hingga 60 persen lapisan masyarakat ekonomi terbawah.

"Sekarang ini dengan ekspansi bansos termasuk Kartu Prakerja, kami perkirakan masyarakat yang mendapatkan bantuan pemerintah itu bisa mencapai 60 persen," katanya, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR secara virtual, Kamis, 30 April.

Ia menjelaskan, tambahan anggaran Rp110 triliun yang termuat dalam paket stimulus ketiga ini, terdiri dari Rp65 triliun untuk tambahan anggaran beragam program jaring pengaman sosial. Kemudian, Rp25 triliun untuk kebutuhan pokok dan operasi pasar, serta penyesuaian anggaran pendidikan senilai Rp20 triliun.

Sementara itu, lanjut Sri Mulyani, untuk tambahan anggaran program jaminan sosial, mencakup program keluarga harapan sebesar Rp8,3 triliun; kartu sembako Rp15,5 triliun; dan Kartu Prakerja Rp10 triliun.

"Diskon tarif listrik Rp3,5 triliun; insentif perumahan Rp1,5 triliun, bantuan sembako Jabodetabek dan bantuan tunai non-Jabodetabek Rp19,6 triliun; serta program lainnya Rp6,5 triliun," tuturnya.

Kemudian, untuk tambahan anggaran kebutuhan pokok dan operasi pasar meliputi bantuan beras senilai Rp10,5 triliun dan cadangan pokok operasi lainnya Rp14,5 triliun.

Menurut Sri Mulyani, anggaran sebesar Rp65 triliun untuk dukungan rumah tangga ini, bisa mencakup 103 juta individu atau 29,1 juta keluarga. Angka ini, mencakup sekitar 40 persen desil terbawah dari penduduk Indonesia.

Program Keluarga Harapan (PKH), lanjutnya, hampir menjangkau 20 persen termiskin. Sedangkan, penerima kartu sembako mencapai 35 persen masyarakat miskin. Kemudian diskon tarif listrik mencapai 50 persen dari masyarakat kita terbawah.

Kemudian, kata Sri Mulyani, BLT dana desa yang dikeluarkan dapat mencakup 11 juta keluarga penerima dan kartu prakerja sebanyak 5,6 juta penerima yang diperkirakan juga mencakup hingga 60 pesen masyarakat kelompok terbawah. 

"Kalau dilihat layer-layer bansos ini, memang ada kemungkinan yang dapat dobel, tapi memang kami mencoba memberikan bantalan sosial kepada masyarakat terdampak," jelasnya