Bagikan:

JAKARTA - Masa bakti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 akan berakhir di tahun depan. Kinerja DPR periode ini menuai apresiasi karena telah menghasilkan produk legislasi berkualitas. Kendati demikian, masih ada sejumlah aspek yang menjadi catatan.

Sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) penting di periode ini memang masih ada yang belum disahkan. Misalnya seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset hingga RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Ironisnya, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang mulus proses pengesahannya justru mendapat sorotan karena pasal-pasal kontroversialnya.

Namun, terlepas dari itu semua, DPR periode ini telah melahirkan 70 UU. Beberapa di antaranya bahkan dianggap sebagai UU yang cukup revolusioner. Salah satunya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sejumlah pengamat pun mengapresiasi kinerja DPR ini.

Salah satunya pengamat sosial, Dr Salman M.Si. Salman menilai bahwa kinerja DPR dalam menghasilkan produk-produk UU perlu diapresiasi. Meskipun masih ada RUU krusial yang belum disahkan.

"RUU IKN kemudian tentan ASN, itu yang menurut saya krusial ya yang harus diselesaikan. Karena kalau tidak diselesaikan tidak selesaikan akan menjadi problem," katanya saat dihubungi, Sabtu 9 Desember.

Dia memang melihat bahwa dari segi kuantitas, produk legislasi memang berkurang. Namun, dari yang sedikit itu ada UU yang berkualitas. DPR dinilai lebih fokus pada kualitas UU.

"Kuantitasnya memang berkurang. Contoh dari prolegnas prioritas itu ada sekitar 20an, tapi yang terealisasi hanya beberapa saja. Tapi dalam prespektif ini saya melihat mungkin yang diuber oleh Baleg DPR itu mungkin mereka lebih fokus kepada kualitas dari UU itu sendiri," tuturnya.

Salman juga mengatakan bahwa DPR cukup akomodatif dalam menampung aspirasi masyarakat. Kendati demikian, tak bisa dipungkiri bahwa memang ada UU yang cukup mendapat sorotan.

"Sejauh ini cukup menampung ya aspirasi. Walaupun ada beberapa hal misalnya terkait UU KPK. Itu menjadi sorotan dari aktivis antikorupsi. Tapi menurut saya itu pilihan yang harus dipilih dari pilihan-pilihan yang ada," jelasnya.

Apresiasi ini juga disampaikan oleh Mediator Mandiri Korban Kekerasan Seksual, Agustrijanto. Dia mengatakan bahwa usaha DPR dalam mengesahkan UU TPKS patut dihargai.

"Namanya hasil usaha harus dihargai ya. DPR sudah mengusahakan ini harus dihargai. DPR juga nggak kerja sendiri. Intinya ada niat baik dan i'tikad baik," katanya.

Dia menjelaskan bahwa UU selalu bermasalah dalam penegakannya. Ada pasal-pasal yang kadang menjadi permainan politis.

Namun, Agustrijanto mengatakan bahwa UU TPKS ini termasuk UU yang cukup mengakomodasi permasalahan di lapangan. Utamanya bagi para korban kekerasan seksual. Namun, kekurangan UU ini belum cukup terlihat karena baru satu tahun disahkan.

"Kalau ditanya cukup akomodatif? Ya cukup akomodatif. Artinya ketika sudah disahkan, ya harus dilaksanakan. Apakah ada kekurangan? Ini kan 2022. Ini baru satu tahun. Jadi kita tidak bisa bilang ini bagus sekali di lapangan," katanya.

Selain, apresiasi, kinerja DPR juga mendapat beberapa catatan. Salah satunya terkait UU kontroversial.

Direktur Ekseutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dr. Dedi Kurnia Syah mencontohkannya dengan pengesahan UU Cipta Kerja. Dia menyoroti independensi DPR kala pemerintah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja.

"Pemerintah mengajukan baru dan kemudian muncullah perppu cipta kerja itu artinya ini

menunjukkan bahwa DPR dari sisi kinerja terkesan tidak independen terkesan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang mau mereka kerjakan," katanya.

Dia pun mengatakan bahwa kinerja DPR secara mudah bisa dilihat juga dari tingkat kepuasan terhadap pemerintah.

"Kalau ditanya soal kepuasan yang paling yang paling realistis bagi DPR adalah dilihat kepuasan terhadap pemerintah sambil kepuasan terhadap pemerintahnya baik berarti pekerjaan di DPR," ungkapnya.