Peringati Hari AIDS Sedunia: Peran Besar Masyarakat Diperlukan untuk Turunkan  Jumlah Penderita
Hari AIDS Sedunia 2023 yang diperingati setiap 1 Desember mengusung tema Let Communities Lead. (Unsplash/Kristine Wood)

Bagikan:

JAKARTA – Hari ini, 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Peringatan hari AIDS dilakukan untuk menunjukkan dukungan kepada orang-orang yang hidup dengan HIV AIDS.

Setiap tahunnya, peringatan hari AIDS selalu dirayakan dengan berbagai tema yang berbeda. Tema hari AIDS sedunia tahun ini adalah Let Communities Lead. Secara harfiah, arti dari tema hari AIDS sedunia 2023 adalah ‘biarkan masyarakat memimpin’.

Seorang perawat memberikan informasi kepada seorang pengunjung mengenai informasi penyakit HIV AIDS di Rumah Sakit Bungsu, Bandung, Jawa Barat, Senin (1/12/2014). (Antara/Novrian Arbi)

Melalui tema ini, pesan yang ingin disampaikan yaitu dengan adanya peran dari komunitas-komunitas dunia untuk kampanye mengenai bahaya dan efek AIDS maka diyakini bisa menurunkan angka penderita AIDS.

“Masyarakat tidak hanya berperan sebagai suatu upaya preventif dan promotif, tapi juga mendukung upaya pengobatan pasien-pasien dengan HIV AIDS,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT dalam webinar yang digelar IDI, Kamis (30/11/2023). 

Perbedaan HIV dan AIDS

Meski edukasi seputar HIV dan AIDS sudah masif belakangan ini, namun masih banyak masyarakat yang mengira keduanya adalah hal yang sama. Padahal HIV dan AIDS adalah dua hal yang berbeda.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Virus tersebut menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga rentan terserang berbagai penyakit.

Sementara Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap lanjut dari infeksi HIV bila kondisi tersebut tidak dengan cepat mendapat penanganan medis.

AIDS adalah kumpulan dari beberapa gangguan kesehatan yang disebabkan oleh sangat lemahnya sistem kekebalan tubuh. Sehingga, infeksi yang seharusnya ringan bagi individu yang sehat, dapat menjadi fatal bagi penderita AIDS.

Sepanjang 2022, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan setidaknya 630 ribu orang meninggal karena HIV. Kondisi ini diperparah oleh tidak adanya obat untuk menyembuhkan penyakit AIDS.

Seorang perawat merawat pasien penderita HIV/AIDS di salah satu rumah sakit di Jakarta, Jumat (30/11/2007). (Antara/Jefri Aries)

Dulu, orang dengan HIV AIDS (ODHA) dikucilkan dan dijauhi. Namun berkat edukasi kepada masyarakat, stigma negatif penderita HIV AIDS mulai luntur.

“Dulu tuh bersentuhan dengan orang AIDS saja sudah takut, tapi sekarang dengan edukasi dari media masyarakat juga sudah mulai paham mengenai AIDS,” kata Dr. Adib lagi. 

Namun di saat yang sama, Dr. Adib mengatakan HIV AIDS ini seperti fenomena gunung es. Karena HIV AIDS tidak berdiri sendiri dalam konteks sebuah penyakit AIDS saja, tapi dia juga bisa bersama penyakit lainnya.

“Contohnya saat pandemi COVID-19 kemarin, salah satu komorbid yang menyebabkan penderita COVID-19 meninggal dunia adalah pasien dengan gangguan imun atau HIV AIDS,” jelasnya.

Terapi Antiretroviral

Sejak peringatan hari AIDS sedunia pertama pada 1988, Prof.Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM selaku anggota Dewan Pertimbangan PB IDI, menyampaikan beberapa catatan positif, yaitu berbagai kemajuan di bidang penelitian kedokteran serta strategi yang makin tajam dan tepat sasaran dalam bidang pengobatan dan pencegahan penyakit menular.

Tapi sejak pandemi COVID-19, kondisi HIV pada posisi yang gawat, sehingga rencana-rencana penanganan menjadi berantakan dan terbengkalai. Selain itu terjadi pula kemunduran yang menyebabkan angka penderita HIV terus meningkat dan banyak pula yang putus pengobatan.

Untuk itu, Dr. Zubairi menganjurkan beberapa rekomendasi, di antaranya adalah pelaksanaan terapi antiretroviral (ART) yang rutin setiap tiga bulan dan ditanggung BPJS. Terapi ART digunakan untuk mendukung sistem kekebalan tubuh, tapi perlu dicatat bahwa terapi ART bukan terapi untuk menyembuhkan HIV.

Terapi antiretroviral (ART) adalah pengobatan yang direkomendasikan untuk semua orang yang terinfeksi HIV. Meski tidak dapat menyembuhkan HIV, ART dapat membantu memperpanjang peluang hidup penderita dan menjadi lebih sehat. Selain itu, ART juga bisa mengurangi risiko penularan HIV.

Truvada, salah satu jenis obat yang digunakan untuk pengobatan antiretroviral penderita HIV. (NBC News/Anthony Correia)

“Jadi, bila semua penderita HIV terdiagnosis dan minum obat ART secara rutin, maka tidak akan terjadi penularan lagi,” kata Dr. Zubairi.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa terapi ART ini juga belum sepenuhnya sukses karena disebabkan beberapa faktor. Beberapa di antaranya adalah karena tidak semua penderita HIV mau meminum obat ART tersebut.

“Ini merupakan salah satu kendala yang terjadi di lapangan. Selain itu, yang sudah minum ART juga kerap putus obat (tidak melanjutkan pengobatan) sehingga terjadi resisten ART,” terangnya.

Untuk itu, di sini diperlukan peran masyarakat atau komunitas dan konselor HIV untuk membantu penderita HIV lebih mudah mengakses ART dan menjaga agar tidak berhenti melakukan pengobatan.

Cacar Monyet dan HIV

Cacar monyet atau Mpox sedang menjadi perbincangan dalam beberapa bulan terakhir menyusul peningkatan kasus tersebut di Indonesia, khususnya DKI Jakarta.

Mpox sendiri merupakan salah satu penyakit yang penularannya melalui aktivitas seksual berisiko. Dan ternyata, banyak pasian cacar monyet di Indonesia memiliki penyakit penyerta atau komorbid berbahaya, salah satunya adalah infeksi HIV.

“Rata-rata memang disertai penyakit. Terbanyak itu pasien yang menderita HIV positif. Dari 57 orang yang terpapar cacar monyet, 39 orangnya HIV positif," kata Direktur Surveilans Karantina Kesehatan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Farchanny Tri Adyanto.

Penderita HIV lebih rentan terserang penyakit, termasuk cacar monyet. (Antara/HO-Sutterstock)

Kemenkes mencatat ada 57 kasus cacar monyet di Indonesia, dan DKI Jakarta menjadi penyumbang terbesar dengan 42 kasus. Sisanya, enam orang dari Banten, enam orang Jawa Barat, dua orang Jawa Timur dan satu di Kepulauan Riau.

Dari jumlah itu, sebanyak 33 orang di antaranya sembuh, sementara tujuh orang menjalani perawatan di rumah sakit. Sebanyak 14 lainnya menjalani isolasi mandiri di rumah dengan pengawasan dan satu orang dinyatakan meninggal dunia.