Bagikan:

JAKARTA – Tingkat pengembalian Xyloband, gelang pintar canggih yang menjadi simbol konser Coldplay, disebut membuka tirai krisis etika masyarakat di Indonesia. Tapi sudut pandang lain mengatakan, tingkat pengembalian tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan etika.

Coldplay secara sukses menggebrak pencinta musik Tanah Air lewat konser perdananya di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 15 November 2023.

Namun pascakonser band asal Inggris tersebut, ada satu tanda tanya besar mengenai krisis etika. Pertanyaan soal krisis etika ini bermuara dari tingkat pengembalian Xyloband dari penonton konser.

Pihak manajemen Coldplay mengonfirmasi tingkat pengembalian Xyloband mencapai 77 persen, setelah sebelumnya beredar gosip tingkat pengembalian gelang konser di Indonesia hanya 52 persen.

Tapi tetap saja, dibandingkan dengan rata-rata pengembalian pada tahun pertama konser bertajuk Music of the Spheres World Tour yang mencapai 86 persen, maka angka pengembalian di Indonesia masih kurang memuaskan.

Artinya, dari total 80 ribu penonton di GBK ada 18.400 di antaranya yang tidak mengembalikan Xyloband. Padahal pengembalian Xyloband adalah salah satu komitmen Coldplay menerapkan konsep keberlanjutan di setiap konser mereka.

“Kami mengurangi 80 persen produksi gelang dengan mengumpulkan, mensterilkan, dan mengisi daya gelang-gelang itu setelah konser,” tulis Coldplay di laman resmi mereka.

Etika Kejujuran Rendah

Berkaca dari tingkat pengembalian Xyloband, muncul pertanyaan krusial soal etika dan kejujuran di kalangan penonton Coldplay di Indonesia.

Psikolog perkembangan anak, remaja, dan pendidikan Theresia Novi Poespita Candra mengatakan Indonesia tengah menghaapi krisis etika, dengan kejujuran menjadi salah satu korban utamanya. Menurut Novi mengembalikan Xyloband adalah bentuk etika, sehingga tidak melakukannya merupakan contoh nyata krisis etika di masyarakat.

Tapi krisis etika tidak hanya tercermin dari pengembalian gelang konser Coldplay. Perilaku sehari-hari juga kerap mencerminkan krisis etika di masyarakat, seperti perilaku membuang sampah sembarangan.

Novi menjelaskan, era digital memiliki peran besar dalam memperburuk kondisi ini. Di tengah dampak positif yang dirasakan dari kehadirannya, teknologi juga berimbas negatif pada kehidupan, salah satunya adalah mempercepat segala sesuatu. Hal ini cenderung membuat pengguna teknologi memberikan respons secara cepat dan tanpa berpikir panjang.

Penonton menyaksikan konser grup band asal Inggris, Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta, Rabu (15/11/2023). (Antara/M Risyal Hidayat/rwa)

Contohnya adalah menghapus pertemanan di media sosial ketika seseorang tidak menyukai atau tidak sependapat dengan orang tersebut, tanpa peduli etika dan dampaknya pada hubungan sosial.

Kembali ke konteks pengembalian Xyloband. Mereka yang tidak mengembalikan gelang tersebut menurut Novi adalah salah satu contoh nyata tindakan tidak etis, karena tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap pihak lain. Novi berujar cara berpikir instan ini rupanya dipicu oleh cara kerja teknologi yang cenderung mengejar efektivitas dan efisiensi.

Dari perspektif psikologi, Novi menjelaskan bahwa otak manusia memiliki bagian korteks prefrontal yang salah satunya memiliki tugas untuk membuat keputusan etik.

Tapi hasil studi menunjukkan di Indonesia, utamanya di kota-kota besar seperti Surabaya dan Jakarta, prefrontal cortex anak usia 15 tahun ke atas cenderung lemah karena kurangnya stimulasi melalui pendidikan.

Bukti Kekaguman pada Idola

Di tengah kritik mengenai etika penonton Coldplay yang tidak mengembalikan Xyloband, pandangan lain dipaparkan psikolog senior Tika Bisono.

Menurut Tika, ketika seseorang menyaksikan atau bertemu sosok yang dikagumi dan diidolakan sejak lama, maka akan muncul perasaan ingin menyimpan barang untuk dikenang nantinya. Tidak mengembalikan Xyloband kepada penyelanggara, menurut pandangan Tika lebih kepada sikap ‘ingin memiliki’ sesuatu dari idola mereka. 

“Ketika seseorang menonton aksi idola pasti ingin membawa sesuatu untuk disimpan, atau istilahnya keep shake, sebagai kenang-kenangan,” kata Tika kepada VOI.

“Lalu saat ada barang yang seolah-olah ‘dibagikan’ maka sebagian besar berpikir untuk membawa pulang. Nantinya saat melihat barang itu, dia akan ingat momen yang berkesan, dalam hal ini konser,” imbuhnya.

Penonton konser grup band asal Inggris, Coldplay mengenakan gelang LED saat akan memasuki Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta, Rabu (15/11/2023). (Antara/M Risyal Hidayat/rwa)

Tika melanjutkan, membawa pulang Xyloband yang dilakukan sebagian penonton tidak menunjukkan mental klepto. Apalagi, tidak sedikit di antara mereka yang benar-benar menantikan kehadiran Coldplay ke Indonesia.

Ia juga menjelaskan, seseorang yang klepto tidak memiliki tujuan untuk apa barang yang mereka ambil. Klepto biasanya hanya memiliki dorongan untuk mengambil tapi tidak jelas tujuannya.

“Untuk kasus gelang Coldplay bisa jadi memang sudah niat tidak mau mengembalikan, tapi ini bukan klepto karena mereka bawa gelang ini memiliki tujuan untuk kenang-kenangan, ini kan konser yang benar-benar ditunggu bertahun-tahun lamanya,” tuturnya.

Sebagai informasi, Jepang masih menjadi negara dengan persentase pengembalian Xyloband tertinggi. Sebanyak 97 persen penonton mengembalikan Xyloband, dan di peringkat dua diisi konser Kopenhagen (Denmark) serta Buenos Aires (Argentina) menggenapkan tiga besar dengan persentase masing-masing 95 dan 93 persen. 

“Soal mental dan disiplin, memang Jepang tidak perlu diragukan lagi. Tapi sekali lagi, untuk kasus gelang ini, Indonesia juga tidak sepenuhnya salah karena ini berangkat dari perasaan kagum. Persentase 77 persen juga tidak terlalu buruk, karena artinya sebagian besar masih mengembalikan,” pungkas Tika.