Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainur Rahman menilai Presiden Joko Widodo tidak memiliki perhatian terhadap pemberantasan korupsi di periode keduanya yang baru berjalan dua tahun. Eks Gubernur DKI Jakarta itu lebih tertarik untuk membangun infrastruktur dibanding memperhatikan isu ini.

"Saya melihat bahwa tidak ada perhatian dari Presiden dalam pemberantasan korupsi," kata Zainur kepada wartawan yang dikutip Kamis, 21 Oktober.

Penilaiannya ini semakin kuat setelah berkaca dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang merosot dari angka 40 di 2019 ke 37 di 2020. Menurut Zainur, penurunan yang drastis itu menunjukan bahwa Indonesia masih lekat dengan korupsi serta belum menjadi negara yang bersih dari pidana korupsi.

Tak hanya itu, dia berpendapat turunnya IPK Indonesia ini disebabkan karena adanya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada 2019 lalu. Kondisi ini, sambung dia, juga makin diperparah dengan pemilihan pimpinan KPK yang buruk melalui pansel bentukan presiden Jokowi.

Sehingga, dua faktor itu kini berhasil menggembosi pemberantasan korupsi dan memperburuk kinerja KPK. Apalagi, di bawah kepemimpinan Ketua KPK Firli Bahuri angka penindakan utamanya operasi tangkap tangan (OTT) menurun drastis sehingga komisi antirasuah tak lagi disegani para pejabat korup.

Selain itu, KPK juga kini lebih banyak dirundung masalah internal. Salah satunya adalah Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berpolemik hingga berujung pada pemecatan 57 pegawai termasuk penyidik senior Novel Baswedan.

"KPK juga banyak dirundung oleh permasalahan internal, salah satunya adalah akibat dari revisi UU KPK yang mengubah status kepegawaian menjadi ASN, ada Tes Wawasan Kebangsaan yang menghasilkan pemecatan 57 pegawai," ungkap Zainur.

Dia mengatakan, pemecatan ini menjadi kerugian besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air apalagi puluhan pegawai ini mumpuni dalam menjalankan tugasnya. Namun, sayangnya Jokowi terkesan tutup mata karena rekomendasi terkait temuan pelanggaran dalam proses TWK yang dihasilkan Komnas HAM dan Ombudsman RI tidak dijalankan.

Selain dari hal tersebut, Jokowi juga dianggap tidak berinisiatif membuat perundangan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi secara optimal. "Kenapa, karena selama ini upaya pemberantasan korupsi terbentur banyak hal seperti misalnya dalam upaya pengembalian aset itu terbentur karena adanya hambatan-hambatan yang diatur dalam undang-undang Tipikor," jelasnya.

"Sampai saat ini Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga belum dibahas antara pemerintah dan DPR bahkan tidak masuk prolegnas. Padahal RUU ini dapat menjadi perubah permainan atau game changer," imbuh Zainur.

Kemudian, Jokowi juga dianggap tak berupaya melakukan reformasi institusi di aparat penegak hukum lain seperti Kejaksaan Agung dan Polri. Padahal, dua lembaga ini kerap terjerat dalam perilaku menyimpang seperti yang paling menghebohkan adalah bekerja sama dengan buronan Joko Tjandra.

"Nah, reformasi aparat penegak hukum ini tidak dilakukan oleh pemerintah dalam dua bahkan tujuh tahun terakhir ini. Begitu juga reformasi birokrasi," ujar Zainur.

"Hasilnya sampai saat ini juga tidak ada perkembangan yang berarti, sangat lambat perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia. Sampai saat ini pungli oleh birokrasi itu masih saja terus terjadi, artinya juga tidak ada satu program pemerintah yang memang siginifikan dalam upaya untuk melakukan reformasi birokras," pungkasnya.