Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia atau disingkat KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi. KPK didirikan 2002, melewati sejarah panjang hingga hari ini terancam 'dimatikan'. Dan dalam waktu singkat lewat sebuah produk UU.

KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga hukum yang ada sebelumnya. KPK berfungsi sebagai stimulus upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Cikal bakal KPK bermula pada masa reformasi tahun 1999. Kala itu diterbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta UU Nomor 31 Tahun 1999.

Kemudian, pada 2001, lahir UU 20/2001 sebagai pengganti sekaligus pelengkap UU 31/1999. Lewat UU 20/2001, KPK pun terbentuk.

Gedung KPK (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Selanjutnya, pada 27 Desember 2002 dikeluarkan UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan lahirnya KPK ini, maka pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami babak baru.

Selanjutnya, pada 2019 dilakukan revisi UU Pemberantasan Korupsi menjadi UU 19/2019 tentang perubahan kedua atas UU 30/2002. Dalam menjalankan tugasnya, KPK berpedoman terhadap lima asas.

  1. Asas Kepastian Hukum. Asas ini mengutamakan landasan peraturan perundangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kewajiban penyelenggara negara
  2. Asas Keterbukaan. Asas ini adalah yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara. Ini tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara
  3. Asas Akuntabilitas. Asas ini yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
  4. Asas Kepentingan umum. Asas ini adalah mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif
  5. Asas Proporsionalitas. Asas ini mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Tanggung jawab KPK kepada publik dan harus menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Tugas dan fungsi KPK

Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah (Sumber: Antara)

KPK di Indonesia bertugas sebagai pencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dalam melaksanakan tugasnya. Dikutip dari berbagai sumber, ada beberapa tugas dan fungsi KPK.

Pertama, berkoordinasi dengan instansi lain yang berwenang menjalankan pemberantasan korupsi. Kedua, melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi.

KPK juga memiliki tugas dan fungsi melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Tugas keempat, KPK berfungsu melakukan tindakan pencegahan korupsi dan memonitor penyelenggaraan negara oleh lembaga pemerintahan.

  1. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi koordinasi, KPK memiliki kewenangan, yakni:
  2. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
  3. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  4. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
  5. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak - pidana korupsi; dan
  6. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Menteri-menteri tangkapan KPK

Politikus PDIP Juliari Batubara (Sumber: Antara)

Sejak pertama berdiri, banyak pejabat negara yang ditangkap KPK. Bahkan sudah ada 12 menteri yang jadi tersangka kasus korupsi di tangan KPK.

Riciannya, empat menteri pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, enam di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan --sejauh ini-- empat menteri zaman Joko Widodo (Jokowi).

Era Megawati Soekarnoputri

  • Rokhmin Dahuri
  • Achmad Sujudi
  • Hari Sabarno
  • Bachtiar Chamsyah.

Era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

  • Siti Fadilah Supari
  • Andi Mallarangeng
  • Suryadharma Ali
  • Jero Wacik

Era Joko Widodo

  • Idrus Marham
  • Imam Nahrawi
  • Edhy Prabowo
  • Juliari Batubara.

Ancaman UU KPK baru

Mahkamah Konstitusi, Selasa, 4 Mei menolak uji formil UU KPK baru. Delapan hakim MK menolak. Hanya satu di antara mereka, yakni Wahiduddin Adams yang mengambil dissenting opinion alias perbedaan pendapat.

Wahiduddin berpendpat MK seharusnya mengabulkan permohonan uji formil Agus Rahardjo Cs. Ada sejumlah pertimbangan. Ketentuan dalam UU Nomor 19/2019 yang dianggap para pemohon bermasalah, kata Wahiduddin secara nyata mengubah postur, struktur, arsitektur, hingga fungsi KPK sebagai lembaga antikorupsi secara fundamental.

Perubahan ini, menurutnya sangat disengaja. Terstruktur. "Perubahan ini sangat tampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat serta dilakukan dalam momentum yang spesifik," Wahiduddin, membacakan pendapatnya, Selasa, 4 Mei.

Momentum spesifik yang ia maksud adalah ketika hasil pemilihan presiden dan legislatif tahun 2019 telah diketahui masyarakat luas. Revisi UU juga dilakukan hanya beberapa hari jelang berakhirnya periode bakti anggota DPR masa jabatan 2014-2019.

Paripurna DPR (Mery Handayani/VOI)

Pembentukan UU secara singkat dan dalam waktu spesifik memang tidak serta merta membuat UU itu inkonstitusional. Tapi kondisi itu menyebabkan minimnya peran dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU.

Singkatnya waktu juga berpengaruh pada berkurangnya kesempatan menganalisis kajian dari mereka yang melaksanakan UU tersebut. Selain itu Wahiduddin juga mengangkat kembali pendapat ahli, Bagir Manan, yang menyebut revisi UU KPK lebih seperti pembentukan UU baru tentang KPK.

Secara kasat mata, tahapan prosedural pembentukan UU mungkin memang telah ditempuh secara formil. Namun, berbagai kondisi dan kejanggalan dalam pembentukan UU KPK menimbulkan masalah konstitusionalitas dan moralitas.

"Namun, yang sejatinya terjadi adalah hampir pada setiap tahapan prosedur pembentukan undang-undang a quo terdapat berbagai persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang cukup serius," kata Wahiduddin.

UU KPK baru memang sejak awal dianggap bermasalah. Seperti yang dikatakan Wahiduddin, banyak persoalan yang mengganggu sifat-sifat konstitutif sebuah produk UU. Sejak 2019, berbagai kelompok masyarakat menolak pembentukan UU KPK baru yang dianggap menggerogoti kekuatan KPK.

Presiden Jokowi (Sumber: Setkab)

Namun, DPR dan Jokowi, yang berperan dalam pembentukan UU ini bergeming. DPR tetap mengesahkan UU KPK lewat paripurna pada 17 September 2019. Jokowi memang tak meneken UU KPK. Tapi Jokowi membiarkan UU KPK sah. Hal ini sesuai pasal 20 ayat 5 UUD 1945:

Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

UU KPK sendiri disahkan dalam paripurna DPR pada 17 September 2019. Pasal 20 ayat 5 itu diperkuat dengan UU 15/2019 tentang Perubahan Atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Pasal 73 ayat 2 UU tersebut menyatakan:

Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

Jokowi sejatinya punya kesempatan untuk menggagalkan pengesahan UU KPK, termasuk lewat penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), sebagaimana diusulkan banyak pegiat antikorupsi. Namun Jokowi menolak.

*Baca Informasi lain soal KPK atau baca tulisan menarik lain dari Indra Hendriana, Wardhany Tsa Tsia juga Yudhistira Mahabharata.

 

BERNAS Lainnya