Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap ada sekitar 8 persen pejabat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang ternyata menjadi tersangka kasus korupsi.

"Berdasarkan data penanganan perkara yang ditangani KPK pada periode 2004 hingga Maret 2021 tercatat 93 dari 1.145 tersangka atau 8,12 persen merupakan jajaran pejabat BUMD," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati kepada wartawan, Senin, 8 November.

Dengan data tersebut, sambungnya, BUMD menempati instansi keempat yang pejabatnya banyak terjaring prakti rasuah setelah pemerintah kabupaten/kota, kementerian/lembaga, dan pemerintah provinsi.

Atas alasan inilah, KPK kemudian meminta para pejabat BUMD untuk taat melaporkan harta kekayaan mereka. Apalagi, berdasarkan data yang dimiliki komisi antirasuah baru ada 18,46 persen pejabat BUMD yang mendaftarkan LHKPNnya.

Padahal sesuai dengan penjelasan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan jajaran direksi, komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada BUMN atau BUMD merupakan pejabat yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara dan rawan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

"Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri RI tahun 2020 terdapat total 1.094 BUMD. Dari data tersebut, KPK mencatat 202 atau sekitar 18,46 persen BUMD yang telah terdaftar LHKPN," ungkap Ipi.

Ia mengingatkan LHKPN merupakan instrumen penting untuk mencegah praktik rasuah. Alasannya, laporan ini mengedepankan pencegahan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara lewat pembukaan informasi perihal harta yang mereka miliki.

"LHKPN merupakan salah satu instrumen penting dalam pencegahan korupsi yang mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara dengan membuka informasi tentang harta kekayaan penyelenggara negara, pasangan, dan anak yang masih dalam tanggungan yang meliputi sumber penerimaan, pengeluaran, dan hutang," pungkas Ipi.