Periksa Kepala BPKD, KPK Dalami Proses Pengelolaan APBD DKI Jakarta Terkait Pengadaan Tanah Munjul
Gedung KPK (Wardhani Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami pengelolaan keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta. Pendalaman ini dilakukan untuk mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

Dalam upaya ini, KPK telah memeriksa empat orang saksi pada Rabu, 4 Agustus kemarin. Pemeriksaan digelar di Gedung Merah Putih KPK.

Mereka yang diperiksa adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta Edi Sumantri, Kepala Bidang Pembiayaan BPKD DKI Jakarta Asep Erwin Djuanda, pejabat BPKD DKI Jakarta Faisal Syafruddin, dan seorang pegawai BUMD DKI Jakarta Farouk.

Keempatnya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Rudy Hartono Iskandar yang merupakan Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur.

"Para saksi seluruhnya hadir dan dikonfirmasi antara lain pengetahuan para saksi mengenai proses pengelolaan keuangan APBD DKI Jakarta," ungkap Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan, Kamis, 5 Agustus.

KPK menduga dalam pengelolaan anggaran tersebut, ada anggaran yang digunakan tak sesuai penggunaannya. Terutama, anggaran yang berkaitan dengan pengadaan tanah Munjul.

"Diduga terdapat peruntukkan yang tidak sesuai khususnya terkait pengadaan tanah di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung," kata Ali.

Diberitakan sebelumnya, komisi antirasuah telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini yaitu Direktur dan Wakil Direktur PT Adonara Propertindo yaitu Tommy Adrian serta Anja Runtuwene, mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles, dan Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur (ABAM) Rudy Hartono Iskandar.

Selain itu, KPK juga menetapkan PT Adonara Propertindo sebagai tersangka korupsi korporasi.

Kasus ini bermula saat Perumda Pembangunan Sarana Jaya yang merupakan BUMD di bidang properti mencari tanah di wilayah Jakarta untuk dimanfaatkan sebagai unit bisnis maupun bank tanah. Selanjutnya, perusahaan milik daerah ini bekerja sama dengan PT Adonara Propertindo yang juga bergerak di bidang yang sama.

Akibat kasus ini, negara merugi hingga Rp152,5 miliar. KPK menduga uang dari dugaan korupsi ini digunakan untuk membiayai kebutuhan pribadi para tersangka.