Banyak Pejabat Belum Laporkan Hartanya, Ketua KPK: Barangkali karena Ada Hasil Korupsi
Ketua KPK Firli Bahuri (Foto: Humas KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, mengatakan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dapat diakses secara bebas oleh publik merupakan alat deteksi dini perilaku korup.

Sehingga, wajar jika masyarakat curiga ketika ada pejabat yang menutupi harta mereka dengan tidak melaporkan kekayaan yang dimilikinya ke KPK.

"Tidak salah bila terhadap pejabat yang enggan melapor harta kekayaan, masyarakat berpandangan ada sesuatu yang disembunyikan. Barangkali, itu karena ada hasil korupsi," kata Firli melalui utas pada akun Twitternya @firlibahuri yang dikutip Kamis, 11 November.

Dia kemudian memaparkan kewajiban LHKPN sudah diatur sejak terbitnya UU Nomor 28 Nomor 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang kemudian diperkuat lewat UU KPK.

Hanya saja, masih banyak pejabat negara yang abai untuk melaporkan kekayaan mereka. Salah satunya adalah petinggi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Firli mengatakan tahun ini, baru ada 202 dari 1.094 atau 18,46 persen pejabat di BUMD yang melaporkan harta mereka. Padahal, tenggat waktu pelaporan sudah lewat tujuh bulan lamanya sejak 31 Maret lalu.

Tak hanya ketidakpatuhan, Firli juga mengungkap ada 95 persen data LHKPN yang ternyata tidak akurat. "Banyak penyelenggara negara tidak jujur melaporkan harta kekayaan mereka. Mulai tanah, bangunan, rekening bank, sampai investasi lain, ada saja yang mereka sembunyikan," tegas eks Deputi Penindakan KPK ini.

Hanya saja, komisi antirasuah tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada sanksi tegas bagi pejabat yang tidak patuh melaporkan LHKPN dan menyembunyikan kekayaan. Atas alasan inilah, KPK ingin ada penguatan di tingkat legislasi karena menunggu kesadaran saja dirasa tidak cukup.

"Untuk memperbaikinya, tidak ada gunanya menantikan kesadaran seluruh penyelenggara negara! Pemecahan persoalan tersebut memerlukan komitmen politik yang kuat di tingkat legislasi," ujar Firli.

Dia bilang, DPR RI bersama pemerintah harusnya bisa menggodok aturan sanksi agar para pejabat patuh melaporkan kekayaan mereka. Ketentuan ini, sambung Firli, bisa dilakukan dengan merevisi UU Nomor 28 Tahun 1999 yang telah mengatur pemberian sanksi administratif.

"Ketidakpatuhan melaporkan harta kekayaan bagi pejabat publik merupakan salah satu mental korup yang harus dikikis! Oleh karena itu, kita mendesak @DPR_RI dan pemerintah menggodok aturan sanksi yang dapat memaksa penyelenggara negara patuh melaporkan kekayaan," ungkap Firli.

"Sudah saatnya pula menghadirkan aturan pembuktian terbalik bagi penyelenggara negara. Mereka harus bisa membuktikan harta kekayaan yang dimiliki tidak diperoleh dari hasil korupsi. Dengan begitu, pencegahan korupsi baru bisa bertaring," pungkasnya.