KPK Ungkap Ada Penyelenggara Negara Berharta Minus Rp1,7 Triliun
DOK VOI

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap ada penyelenggara negara yang hartanya minus Rp1,7 triliun. Hal ini diketahui karena tiap pejabat wajib melaporkan harta kekayaannya sebagai langkah monitoring dan pencegahan korupsi.

"Ada juga nilai harta terendah yang menarik, yang di antara kementerian lembaga masih ada yang melaporkan bahwa hartanya minus Rp1,7 triliun," kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan dalam diskusi secara daring yang ditayangkan di YouTube KPK RI, Selasa, 7 September.

Hanya saja, ia tak memerinci siapa pejabat yang dimaksud. Tapi, Pahala hanya menyebut pejabat tersebut berada di jajaran kementerian atau lembaga.

Sedangkan untuk harta tertinggi, dia mengatakan ada pejabat yang hartanya mencapai Rp8 triliun. Namun, lagi-lagi Pahala tak memerincinya dan hanya mengatakan pejabat tersebut punya perusahaan besar.

"Kalau yang pengusaha biasanya mengisi harga sahamnya saja tapi bukan nilai perusahaannya berapa sahamnya itu tercatat itu saja yang dicatat," ungkapnya.

Pahala juga menyebut banyak anggota DPD dan DPR yang punya utang segudang. Hal itu menunjukkan tidak semua pejabat di Indonesia merupakan orang kaya.

"Jadi, jangan dipikir semua ini orang yang hartanya besar nggak juga karena dilaporkan ada juga yang angkanya dinas alias utangnya lebih banyak dibandingkan hartanya," ungkapnya.

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri meminta penyelenggara negara untuk rutin melaporkan LHKPN mereka. Apalagi, selama ini banyak yang salah kaprah jika laporan hanya dilakukan ketika mereka akan menjabat dan setelah selesai masa jabatan.

Selain itu, eks Deputi Penindakan KPK ini juga menyinggung minimnya tingkat kepatuhan anggota DPR RI dalam melaporkan LHKPN. Dia mengatakan per 6 September kemarin, baru 58 persen legislator yang menyampaikan laporan ke komisi antirasuah atau berkurang dibanding periode lalu yang mencapai 74 persen.

Padahal, kata Firli, melaporkan harta kekayaan merupakan bentuk tanggung jawab legislator terhadap para pemilih mereka sekaligus cara untuk mengendalikan diri dari praktik korupsi.