Mantan Kapten Rezim Militer Ungkap 1.500 Tentara Membelot, Bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil
JAKARTA - Sedikitnya 1.500 tentara kini telah membelot dari militer Myanmar, untuk bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) melawan junta, kata mantan kapten Tatmadaw yang membantu sesama desertir.
Angka-angka baru dari berasal Kapten Lin Htet Aung, yang meninggalkan jabatannya di Batalyon Infanteri Ringan 528 di Negara Bagian Shan timur pada Bulan April, menunjukkan tentara sekarang membelot lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya.
Jumlah desertir hampir dua kali lipat dalam waktu dua bulan. Pada awal Juni, empat bulan setelah militer merebut kekuasaan, sekitar 800 tentara telah membelot.
Di antara para pembelot, sekitar 1.000 orang berpangkat mulai dari prajurit hingga sersan sementara ratusan lainnya adalah mayor, Lin Htet Aung mengatakan kepada Myanmar Now.
Diterangkan olehnya, sebagian besar telah tiba di daerah yang dikendalikan oleh kelompok pemberontak, kendati mereka belum sepenuhnya mendapatkan kepercayaan dari orang lain yang terlibat dalam gerakan melawan rezim militer.
"Kami masih dalam proses memantau dan menilai mereka, jadi kami tidak bisa menyerang sekarang," tambahnya, merujuk pada rencana tentara yang membelot untuk berperang melawan junta seperti mengutip Myanmar Now 17 Agustus.
"Tetapi, banyak yang terlihat antusias untuk mengambil bagian dalam peran apa pun, yang memungkinkan begitu kami melakukan serangan," sambung pria yang merupakan lulusan angkatan ke-54 dari Akademi Layanan Pertahanan (DSA).
Lin Htet Aung telah menjadi jembatan komunikasi antara pembelot dan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), sambil menjangkau tentara di dalam rezim militer Myanmar untuk mendorong lebih banyak pembelotan.
Pembelot potensial menghubungi Lin Htet Aung setiap hari, katanya, dan selalu memiliki risiko untuk diketahui oleh rezim militer yang berkuasa.
Prajurit pro-rezim, lanjutnya, menyebut calon pembelot sebagai 'semangka' karena mereka melihat mereka berwarna hijau di luar dan merah di dalam, referensi untuk warna militer dan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND).
"Banyak yang tidak ingin bekerja untuk dewan militer lagi, karena semakin banyak tentara kehilangan kepercayaan pada pemimpin mereka," ungkap Lin Htet Aung.
Lin Htet Aung dan kapten lain yang belum membelot mengatakan, militer baru-baru ini membatasi pergerakan tentara dan keluarga mereka. Perwira senior mengklaim ini adalah upaya untuk mengekang penyebaran COVID-19, tetapi sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah pembelotan, kata mereka.
"Jika ada yang ingin pergi sekarang, hanya akan ada panglima tertinggi dan tiang bendera yang tersisa di barak," ungkap sang kapten.
Lin Htet Aung setuju, sejumlah besar tentara ingin pergi. "Jika disetujui siapa saja bisa mengundurkan diri, bahkan prajurit baru yang baru lulus dari DSA akan pergi," ungkapnya.
Baca juga:
- Akui Kemenangan Taliban, Presiden Afghanistan: Sekarang Mereka Bertanggung Jawab
- AS Kirim 1.000 Pasukan dari Satuan Legendaris Perang Dunia II ke Afghanistan, Menlu Blinken: Ini Bukan Vietnam
- Taliban Kuasai Kabul, PM Inggris: Keputusan AS Menarik Pasukan Ikut Mempercepat
- Enggan Terburu-buru Akui Rezim Taliban, Rusia Salahkan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani
Untuk diketahui, dalam sebuah wawancara dengan Myanmar Now awal bulan ini, Menteri Pertahanan NUG Yee Mon mendesak tentara rezim militer Myanmar untuk membelot.
"Anda tidak punya waktu lebih lama untuk memutuskan, apakah Anda akan berada di pihak rakyat atau tidak. Jadi, bergabunglah dengan pasukan pertahanan rakyat jika kamu bisa. Jika Anda tidak bisa, berhentilah menerima perintah dari dewan militer. Berhenti menindas rakyat," pesannya.
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.