Hukuman Mati Pertama di Indonesia dan Seterusnya
JAKARTA - Saat itu, tahun 1808, Herman Willems Daendels datang ke Hindia Belanda. Ia menjabat gubernur jenderal. Meski tergolong singkat, Daendels meninggalnya banyak legasi. Salah satunya hukuman mati. Kala itu, sasaran Daendels adalah para koruptor. Di sanalah sejarah panjang hukuman mati di Indonesia dimulai dengan segala kontroversinya.
Daendels yang mengusung konsep negara modern di Hinda Belanda ingin menghapus segala korupsi dan penyelewengan lain di VOC. Korupsi di antara pejabat Belanda di koloni menjadi sasaran Daendels," tulis sejarawan, Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
Konsolidasi pertama hukuman mati di Indonesia terjadi pada masa itu. Daendels membuat aturan bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki kewenangan memberi hukuman mati. Skema hukum kala itu, setiap orang yang terbukti bersalah dan pengadilan menetapkan hukuman mati kepadanya, maka putusan itu harus disetujui oleh gubernur jenderal.
Selain untuk menghapus korupsi, hukuman mati juga jadi strategi membungkam perlawanan penduduk jajahan sekaligus memertahankan Jawa dari serangan Inggris. Bahasan mengenai ini pernah kami bahas mendalam lewat artikel "Galaknya Daendels dalam Memberantas Korupsi pada Zaman Kolonial".
Konsolidasi kedua dan seterusnya
Konsolidasi hukuman mati kedua terjadi pada masa pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiaers) 1 Januari 1873 dan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) 1 Januari 1918. Padahal, sejak 1870 Belanda telah menghapus hukuman mati di negaranya.
Dilansir dari laman resmi ICJR, Jumat, 19 Februari, hal itu dilatarbelakangi alasan rasial, bahwa Negara Kolonial saat itu berpikir orang-orang pribumi jajahan memiliki berbagai sifat buruk soal kejujuran. Orang pribumi dianggap tukang bohong, tak dapat dipercaya, yang bahkan kerap memberi keterangan palsu di pengadilan.
Pada masa awal kemerdekaan, hukuman mati tetap dipertahankan dengan menyesuaikan WvS sebagai hukum pidana. Dalam konteks hukum pidana militer, hukuman mati dilihat sebagai respons untuk memerkuat strategi pertahanan negara dari situasi dan upaya memertahankan kemerdekaan. Hal itu berlaku dalam kurun waktu 1945-1949.
Pada masa demokrasi liberal tahun 1951, hukuman mati dipertahankan. Tujuan utamanya pun berbeda. Kali ini untuk menghalau pemberontakan yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Saat itu dibentuklah UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951, mengenai peraturan hukuman istimewa sementara tentang senjata api, amunisi, dan bahan peledak.
Di masa Demokrasi Terpimpin 1956-1966, Presiden Soekarno mengeluarkan UU Darurat Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana ekonomi (LN 1955 Nr 27). UU itu diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959 dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Keseluruhan UU tersebut ditujukan sebagai respons atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan drastis akibat meluasnya inflasi dunia, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, serta banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan para pejabat negara maupun masyarakat.
Kejahatan-kejahatan yang dimaksud adalah penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya. Presiden Soekarno juga mengeluarkan regulasi yang dia harap mampu mengurangi tingkat kejahatan korupsi. Ia juga mengeluarkan Perppu Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN 1960 Nr 1972).
Pada masa Orde Baru (1966-1998), hukuman mati digunakan untuk mencapai stabilitas politik demi mengamankan agenda pembangunan. Pada masa ini beberapa kejahatan, salah satunya kejahatan narkotika dianggap sebagai upaya subversif.
Kejatahan korupsi pada masa itu pernah didakwa dengan menggunakan UU Nomor 11/PNPS/1963 Tentang subversi yang menyertakan ancaman hukuman mati, walaupun pada masa ini kejahatan korupsi sendiri tidak diancam dengan hukuman mati. Beberapa legilslasi yang mencantumkan hukuman mati, antara lain soal Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan dan Tenaga Atom.
Hukuman mati hari ini
Pada masa reformasi (1998-sekarang), hukuman mati dalam legislasi diwarnai alasan “kedaruratan”, mulai dari alasan darurat bencana, hingga darurat perlindungan anak. Segala kedaruratan itu jadi alasan mendesak untuk memberatkan hukuman seseorang demi kepentingan stabilitas nasional.
Di Indonesia, setidaknya terdapat 12 UU yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pidana. Berbeda dengan perkembangan hukum pidana di Belanda yang telah menghapus hukuman mati sejak tahun 1870, KUHP Indonesia masih memertahankan hukuman mati.
Ada sejumlah motif yang paling populer sebagai alasan penerapan hukuman mati di Indonesia. Pertama, hukuman mati dinilai jauh lebih efektif memberi efek jera ketimbang hukuman lain. Selain menakutkan sebagai shock therapy, hukuman mati juga dianggap lebih hemat.
Hukuman mati juga kerap diambil dengan alasan agar tak ada main hakim sendiri di tengah masyarakat. Selain itu, masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menitikberatkan pada aspek pembalasan (retributif) juga jadi faktor pendorong langgengnya penerapan hukuman mati.
April 2020, Amnesty International mengulas data mengenai penerapan hukuman mati di Indonesia. Hasilnya, meningkat. Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Justitia Avila Veda menjelaskan, pada 2018, ada 48 kasus dengan vonis hukuman mati. Di 2019, angka itu meningkat menjadi 80 vonis.
Sikap Indonesia tampak tak selaras dengan semangat dunia internasional. Secara global, vonis hukuman mati di tahun 2019 sejatinya menurun, dari 2.531 vonis di tahun 2018 menjadi 2.307 vonis di sepanjang 2019.
Dari 80 vonis hukuman mati yang tercatat pada 2019, 60 kasus di antaranya berkaitan dengan kasus perdagangan narkotika. Delapan dari 60 kasus melibatkan warga negara asing.
Sementara, di urutan dua kasus hukum dengan vonis hukuman mati paling banyak ada di ranah pembunuhan. Sisanya, satu kasus terkait pemerkosaan anak, dan satu kasus lainnya melibatkan terdakwa terorisme.
MEMORI Lainnya
Baca juga: