JAKARTA – Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL) menjadi perbincangan. Hukuman untuk SYL yang lebih rendah dari tuntutan jaksa menjadi penyebabnya.
Mantan Menteri Pertanian (Mentan) SYL mendapat hukuman 10 tahun penjara. SYL dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum telah melakukan pemerasan di lingkungan Kementerian Pertanian RI.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Syahrul Yasin Limpo dengan pidana penjara selama 10 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (11/7/2024).
"Dan pidana denda sebesar Rp300 juta subsider pidana kurungan selama empat bulan," sambung hakim.
SYL juga dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp14.147.144.789 ditambah 30.000 dolar Amerika Serikat.
Vonis hukuman penjara untuk SYL lebih rendah dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta atau subsider enam bulan kurungan. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai hukuman terhadap SYL terlalu rendah. Dengan hukuman seperti ini, Koordinator MAKI Boyamin Saiman menilai vonis ringan tidak mencerminkan semangat dan tujuan pemberantasan korupsi.
Penghinaan Terhadap Rakyat
Kasus korupsi SYL termasuk salah satu yang menggegerkan publik sejak akhir tahun lalu. Sempat disebut hilang kontak setelah mengikuti acara di Spanyol, pria asal Sulawesi Selatan ini akhirnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta pada 12 Oktober 2023.
Setelah menjalani persidangan, SYL didakwa menerima gratifikasi dari sejumlah pejabat Kementan yang digunakan untuk keperluan biaya pribadinya. Jaksa KPK Taufiq Ibnugoho meyakini total gratifikasi yang diterima SYL adalah Rp44,5 miliar.
Jaksa menyebut uang tersebut diperoleh selama SYL menjabat Mentan pada 2020 sampai 2023. Ia mendapatkan uang puluhan miliar dengan cara memeras anak buahnya.
Uang hasil gratifikasi SYL digunakan tidak hanya digunakan untuk keperluan pribadi, tapi juga mengalir deras ke keluarganya. Seperti uang bulanan istri Rp25-30 juta, membeli mobil anak Rp500 juta, biaya ulang tahun dan khitan cucu, biaya umrah, kurban, sampai menyawer biduan dangdut.
BACA JUGA:
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menegaskan, vonis 10 tahun untuk SYL jauh dari rasa keadilan.
“Ini sangat belum memenuhi rasa keadilan, karena ini dilakukan oleh seorang menteri, jabatan tinggi. Jadi ini sangat kurang,” kata Boyamin.
“Tuntutan 15 atau 20 tahun penjaga pun masih dianggap ringan, apalagi melihat putusannya di bawah itu. Menurut saya minimal seharusnya 20 tahun. Mestinya malah seumur hidup agar memberikan efek jera,” paparnya.
Terkait aliran uang hasil korupsi SYL yang mengalir deras ke keluarga bahkan biduan, Boyamin menegaskan hukuman untuk sang mantan menteri seperti sebuah penghinaan terhadap rakyat Indonesia.
Seperti Kaset Rusak
Syahrul Yasin Limpo menjadi menteri keenam di era Presiden Joko Widodo yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya, eks Menteri Komunikasi dan Informatikan Johnny Gerard Plate divonis 15 tahun penjaga serta denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada November 2023.
Ia terbukti menerima belasan miliar proyek pengadaan base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung tahap 1 sampai 5.
Politikus Golkar Idrus Marham terjerat kasus suap PLTU Riau. Pria yang pernah menjabat sebagai Menteri Sosial di kabinet Jokowi ini divonis tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider dua bulan kurungan.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi juga terjerat korupsi suap hibah dana KONI. Ia kemudian divonis tujuh tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider tiga bulan kurungan.
Selain itu, Imam juga divonis mengganti kerugian negara Rp18,15 miliar dan pencabutan hak pilih hingga empat tahun.
Edhy Prabowo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, juga terbukti menerima suap penerbitan izin budi daya dan ekspor benih lobster. Vonis lima tahun penjara, denda Rp400 juta subsider enam bulan penjara, dan pencabutan hak pilih hingga dua tahun dijatuhkan pada Edhy.
Terakhir kasus korupsi yang juga sempat menghebohkan publik adalah perkara suap bantuan sosial (bansos) COVID-19 di Jabodetabek oleh Juliari Batubara. Ia mendapat hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta dan subsider enam bulan kurungan.
Rendahnya vonis yang dijatuhkan hakim kepada para koruptor, baik di era Jokowi maupun sebelumnya, menurut Boyamin tidak mencerminkan semangat dan tujuan pemberantasan korupsi. Ia menyebut ini seperti drama yang terus diulang.
“Tidak ada efek jera kalau hukumannya 5-10 tahun, apalagi ada diskon. Pemberantasan korupsi harus dibuat efek jera, hukuman tinggi dan dimiskinkan,” tegasnya.
“Kalau korupsi, pelaku dan hukumanya ringan, lama-lama pemberantasan korupsi kita hanya rutinitas, membosankan, menjadi kaset rusak diulang, rakyat jengkel,” pungkas Boyamin.