Bagikan:

JAKARTA – Sejumlah studi menunjukkan peran penting representasi politik perempuan dalam mengurangi korupsi skala kecil maupun besar. Namun, hipotesis ini belum teruji dalam kasus Indonesia. Padahal Indonesia bisa dikatakan memiliki banyak kasus korupsi di lembaga legislatif dan lembaga penyelenggara pemilu yang mendapat sorotan publik.

Korupsi merupakan musuh utama pembangunan yang tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga berbagai belahan dunia lain. Di Indonesia, meski sejak lama memiliki komitmen memerangi korupsi, namun berdasarkan data Transparency Internasional pada 2024 berada di peringkat 114 dari 180 negara terkorup.

Korupsi terjadi di hampir semua sektor publik, termasuk di lembaga legislatif dan lembaga penyelenggara pemilu. Kasus-kasus korupsi politik, yang sebagian besar terjadi dalam jaringan patronase laki-laki, juga diyakini menghambat partisipasi dan kontribusi perempuan di kedua lembaga tersebut.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran penting untuk mendukung inisiatif antikorupsi di lingkungan pemerintahan.

“Perempuan lebih cenderung berhati-hati dalam menerima korupsi karena pertimbangan moral dan tidak ada desakan kebutuhan ekonomi,” kata Dosen Psikologi sekaligus Associate Researcher Puskapol UI Whinda Yustisia.

Korelasi Gender dan Korupsi

Gender dan korupsi disebut memiliki hubungan erat. Hal ini berdasarkan penelitian di sejumlah negara yang menunjukkan bahwa tingkat representasi perempuan yang tinggi memiliki korelasi dengan penurunan tingkat korupsi. Selain itu tingkat representasi perempuan yang tinggi juga mampu mengurangi korupsi skala kecil dan besar.

Studi dari Stensota saat menganalisis data Komisi Eropa dari 30 negara Eropa menemukan bahwa semakin tinggi jumlah perempuan di parlemen, maka semakin rendah tingkat korupsi yang dirasakan.

Namun tesis ini belum diuji dalam kasus di Indonesia. Studi-studi komparasi dan studi kasus tentang gender dan korupsi juga belum menjelajahi peran representasi perempuan dalam mengurangi tingkat korupsi politik di lembaga penyelenggara pemilu.

Perempuan seringkali mendapat stereotip negatif, misalnya dianggap lebih lemah, mudah menyerah, sampai terlalu emosional sehingga dianggap tidak layak dijadikan pemimpin atau menduduki jabatan strategis. Karena stereotip inilah, tidak sedikit yang sangsi ketika keterwakilan perempuan dalam politik terus diperjuangkan.

Namun hasil survei Puskapol UI menunjukkan, perempuan punya penting mendukung inisiatif antikorupsi di lingkungan pemerintahan. Hal tersebut juga dipengaruhi sejumlah faktor yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan intensi keterlibatan dalam inisiatif antikorupsi.

Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) merilis riset mengenai Peran Gender terhadap Perilaku Korupsi dan Antikorupsi di Lembaga Pemerintah, di kawasan Tebet, Jakarta. (VOI/Dewi)

Pertama ada korelasi antara gender dan korupsi, yang mana perempuan memiliki intensi anti-korupsi lebih besar dibandingkan laki-laki.

“Perempuan cenderung lebih mau terlibat dalam inisiatif antikorupsi dibandingkan laki-laki” kata Whinda.

Faktor lainnya yang memengaruhi adalah persepsi dukungan rekan kerja dan persepsi agensi diri. Jadi, semakin yakin bahwa rekan kerja mendukung aksi antikorupsi maka semakin besar intensi terlibat dalam perilaku tersebut.

“Dan, semakin merasa mudah untuk terlibat aktif dalam mencegah dan memerangi tindak korupsi, semakin besar intensinya,” dia mengimbuhkan.

Didominasi Laki-Laki

Puskapol UI melakukan riset di lembaga legislatif dan lembaga penyelenggara pemilu. Dua lembaga ini dipilih karena merupakan institusi yang memiliki kerangka regulasi keterwakilan politik perempuan.

Studi ini mengeksplorasi persepsi dan perspektif anggota legislatif dan penyelenggara pemilu laki-laki dan perempuan terhadap korupsi, faktor-faktor yang mendorong mereka menerima atau menolak korupsi, serta bagaimana pengaruh keterwakilan politik perempuan terhadap agenda anti-korupsi di Indonesia.

Dalam riset ini, Puskapol mengungkap jumlah kasus korupsi di DPR RI, KPU, dan Bawaslu didominasi oleh laki-laki.

Ini terlihat di DPR misalnya, ditemukan 34 kasus korupsi yang melibatkan 73 anggota DPR sepanjang 2004-20023. Dari kasus ini, sebagian besar aktornya adalah laki-laki, dengan jumlah 62 orang sementara 11 sisanya adalah perempuan.

Temuan di KPU juga hampir sama. Pada 2004-2019, terdapat 18 kasus korupsi dengan 29 laki-laki terlibat dan hanya satu orang perempuan yang terlibat.

Pun dengan Bawaslu. Ditemukan 13 kasus korupsi selama 2013—2023. Dalam kasus tersebut melibatkan 12 laki-laki, empat perempuan, dan 11 orang lainnya inisial nama tanpa identitas.

“Temuan riset kami mencerminkan pola umum kasus korupsi di mana keterlibatan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki,” kata Direktur Puskapol UI Hurriyah.

"Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa peran perempuan dalam kasus-kasus ini cenderung lebih sebagai aktor pendukung, dan skala korupsinya tidak sebesar kasus-kasus korupsi yang melibatkan aktor laki-laki," tuturnya.

Hurriyah juga membeberkan dua faktor yang perlu diperhatikan untuk mengurangi intensi melakukan korupsi di lembaga legislatif dan penyelenggara pemilu. Pertama adalah faktor sikap, yang mana semakin negatif pandangan terhadap korupsi maka semakin kecil kemungkinan melakukan tindak korupsi.

Kedua adalah faktor norma aturan yang dianggap benar oleh rekan kerja, yang mana semakin yakin seseorang bahwa banyak rekan kerjanya menolak tindak korupsi, makin kecil juga kemungkinan melakukan korupsi.

Siswa SD Negeri Bromantakan memajang kartu pos yang dibuatnya saat aksi peringatan Hari antikorupsi Sedunia di kawasan wisata Ngarsopuro, Solo, Jawa Tengah, Jumat (8/12/2023). (ANTARA/Maulana Surya/Spt/aa)

Dalam hal ini, menurut Hurriyah peran perempuan dalam mendukung inisiatif pencegahan korupsi sudah terlihat, namun ruang lingkupnya masih dalam skala kecil.

“Di lembaga penyelenggara pemilu, sudah ada beberapa praktik baik pengalaman perempuan dalam melakukan inisiatif anti-korupsi,” ucapnya.

Peran serupa juga sudah terlihat di lembaga legislatif. Menurutnya, perempuan lebih berhati-hati dalam menerima korupsi dengan mempertimbangkan moral, norma, dan beban domestik yang melekat pada perempuan, serta tidak adanya desakan kebutuhan ekonomi.

Sedangkan laki-laki cenderung lebih rentan terhadap korupsi karena ada kebutuhan ekonomi dan keberlangsungan dalam politik maupun kesempatan untuk ruang-ruang transaksional.