Bagikan:

JAKARTA - ‘Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.’ Inilah isi dari perubahan UUD 1945, pasal 28 H ayat (2). Menunjukkan kesetaraan, laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama. Bebas dari diskriminasi sistematik dan struktural dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di aspek politik.

Dalam implementasinya, aturan tersebut mampu mengikis budaya patriarki di Indonesia. Perempuan saat ini tidak melulu berkutat di dapur. Melainkan sudah mampu melanglang buana mempergunakan haknya sebagai manusia bebas. Sederet perempuan Indonesia sudah menunjukkan peran di kancah politik. Terlihat dari keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, terutama pascaera reformasi.

Mengutip data BPS, pada Pemilu 1999 jumlah keterwakilan perempuan di DPR mencapai 9 persen, meningkat menjadi 11,8 persen pada Pemilu 2004, lalu menjadi 17,86 persen pada Pemilu 2009, 17,32 persen pada Pemilu 2014, hingga 20,87 persen pada Pemilu 2019.

Sayangnya, kata Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. DR Hamka (Uhamka), Said Romadlan, persentase tersebut masih terbilang minim. Belum memenuhi kuota 30 persen sesuai aturan Pemilu yang sudah ditetapkan, mulai dari aturan Pemilu 2004 sampai 2019.

Aktivis dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan & Politik berunjuk rasa menolak peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang keterwakilan perempuan dalam partai, di depan Kantor KPU, Jakarta, Senin 1 April 2013. (Antara/Yudhi Mahatma).

Semisal, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 2019. Aturan ini mendorong setiap partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen saat mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.

“Nah, data yang ada tidak sampai 30 persen,” kata Said kepada VOI, Senin (1/8).

Alhasil, persentase tersebut hanya kuota. Pada Pemilu 2024 nanti, tidak lagi di parlemen, KPU menetapkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik sebagai syarat pendaftaran untuk ikut serta dalam Pemilu 2024.

Aturan tertuang dalam Pengumuman KPU Nomor 7/PL.01.1-Pu/05/2022 tentang Pendaftaran Partai Politik Calon Peserta Pemilu Tahun 2024, poin A2-e.

“Menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat pusat dan memperhatikan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota.”

Menurut Said minimnya keterwakilan perempuan dalam parlemen membuat kebijakan yang dihasilkan belum sepenuhnya merespon masalah utama yang dihadapi oleh perempuan. Masih banyak kasus perempuan yang diatasi dari perspektif lakit-laki. Pada akhirnya, substansi dari permasalahan tidak selesai.

Anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo (tengah) membuka Sosialisasi Perempuan pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok Tahun 2020 di Depok, Jawa Barat, Selasa 24 November 2020. (Humas Bawaslu/Nurisman)

Itulah mengapa partisipasi perempuan harus bisa ditingkatkan agar pengambilan keputusan politik bisa lebih akomodatif dan substansial. Juga, menguatkan demokrasi yang senantiasa memberikan gagasan terkait perundang-undangan pro perempuan dan anak di ruang publik.

“Hal sederhana seperti pembagian toilet. Masa laki-laki dan perempuan toiletnya sama, padahal kebutuhannya berbeda. Lalu, ruang menyusui di fasilitas umum yang masih kurang memadai, dan sebagainya. Ini yang tidak tersentuh lewat perspektif laki-laki,” tuturnya.

“Saya kira, aturan yang dibuat KPU sangat baik. Peran perempuan di legislatif cukup vital. Paling tidak mereka bisa turut andil melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung perempuan,” Said melanjutkan.

Parpol Harus Beri Ruang

Namun, meski pintu sudah terbuka lebar, tetapi minat perempuan untuk menjadi politikus masih sangat minim. Keterbatasan kemampuan, terutama pendidikan bisa jadi salah satu faktor penyebab.

Perempuan di kota besar bisa dibilang mayoritas sarjana. Namun, kalau di daerah berbeda. Lalu dari banyak sarjana, berapa banyak yang minat jadi politikus atau minimal berkecimpung di partai politik deh,” imbuh Said.

Selain itu, tambah Said, minimnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif juga berasal dari partai politik itu sendiri yang belum bisa memberikan kesempatan seimbang untuk para perempuan.

Anggota Komisi IX DPR RI Irma Chaniago pun mengakui itu. Belum semua partai politik bisa memberikan ruang besar bagi perempuan maju menjadi wakil rakyat. Sehingga, ada baiknya aturan 30 persen keterwakilan di parlemen menjadi hal wajib.

“Bukan sekadar kuota, bukan pula 30 persen di pengurus partai, tapi 30 persen wajib di parlemen. Baru perempuan bisa bersuara lebih besar,” kata Irma kepada VOI, Senin (1/8).

Irma Suryani Chaniago, politikus perempuan anggota Komisi XI DPR RI dari Partai Nasdem. (dpr.go.id)

Sebab, kalau hanya 30 persen keterwakilan perempuan sebagai pengurus partai, itu sama saja. Toh, pada akhirnya, partai politik tidak memberi ruang untuk para perempuan maju ke legislatif. Ini yang harus menjadi perhatian.

“Perlu diskresi, perlu adanya regulasi yang bisa membuat peran perempuan itu termaginalkan, bisa punya ruang di kancah politik. Parpol harus beri ruang besar terhadap perempuan untuk bisa berpartisipasi dalam flaming legislative sehingga perempuan tidak hanya menjadi vote getter,” tuturnya.

Selain minimnya ruang yang diberikan, tidak banyak pula perempuan yang memiliki modal untuk menjadi wakil rakyat.

“Kalau modal sosial mungkin banyak perempuan yang punya elektabilitas bagus, tapi yang punya modal finansial masih sedikit perempuan yang mandiri. Rata-rata masih bergantung ke pendanaan suami,” imbuh Irma.

Kondisi itu juga yang harus menjadi perhatian partai politik. Membantu perempuan-perempuan yang memang berkualitas, memiliki kapabilitas, kapasitas, dan elektabilitas untuk maju menjadi wakil rakyat dan jangan dibiarkan bertarung bebas.

Ini yang belum bisa dilakukan oleh partai politik sehingga masih banyak perempuan yang sebenarnya berkualitas untuk bisa menjadi wakil rakyat, tetapi tidak bisa masuk karena keterbatasan finansial.

Untuk bisa bertarung menjadi anggota legislatif butuh modal tidak sedikit.

“DPR RI misalnya. Minimal Rp5 miliar. Baru bisa bergerak, kalau enggak, enggak bakalan menang deh. Sekarang tuh wani piro nya gila-gilaan. Masyarakat sekarang enggak peduli apakah dia berkualitas atau tidak yang penting duit. Buktinya bisa dilihat, banyak koruptor yang bisa masuk lagi di parlemen. Banyak juga orang yang cacat secara hukum bisa terpilih lagi,” papar Irma.

Di sisi lain, partai politik juga tidak bisa berbuat apa-apa karena tersandung parlementary threshold.

“Mereka juga tidak mau tahu. Entah dari mana yang penting bisa bawa kursi, mau nanti di parlemen cuma jadi vote getter, cuma jadi follower, enggak ada urusan, yang penting mereka bawa kursi,” Irma menambahkan.

Padahal, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sangat penting.

“Terlebih saat ini, jumlah perempuan terus bertambah bahkan melebihi jumlah laki-laki. Artinya, kebutuhan perempuan tentu lebih banyak dan beragam. Idealnya harus diatasi lewat perspektif perempuan,” kata Irma menegaskan.