JAKARTA - Pada Jumat (29/7), seorang warga Depok bernama Rudi Samin menemukan timbunan karung beras bansos yang dipendam sedalam 3 meter di dalam tanah miliknya yang berlokasi di Lapangan KSU, Sukmajaya, Kota Depok. Jumlahnya diperkirakan mencapai 1 kontainer.
Dia mengetahui ada timbunan beras di tanahnya dari informasi mantan karyawan JNE.
“Kemudian, saya cari pakai alat berat. Tiga hari baru ketemu,” tuturnya kepada VOI, Selasa (2/8).
Menurut Rudi, itu adalah beras bansos karena ada beberapa karung yang bertuliskan ‘beras bantuan presiden’. Diduga sudah dipendam selama 2 tahun.
“Ada yang karung 20 kg, 5 kg, 10 kg dan ada yang merk Beraskita. Ditemukan pula sembako lain, tetapi kondisinya memang sudah busuk,” kata Rudi lagi.
Dalam 9 tahun terakhir, tambah Rudi, area seluas 6000 meter persegi tersebut memang digunakan JNE secara ilegal untuk keperluan perusahaan, terutama sebagai tempat parkir.
“Pihak JNE bekerjasama dengan oknum TNI dari sekitar 9 tahun lalu, tanpa bayar, tanpa izin, dan sekarang digunakan untuk memendam sembako, bantuan presiden. Ini akan saya laporkan,” ucap Rudi.
Camat Sukmajaya, Ferry Wibowo juga tidak mengetahui ikhwal keberadaan timbunan beras bansos tersebut. Menurut Ferry, lokasi penimbunan merupakan lokasi ramai. Bila ada alat berat masuk, tentu warga melihat.
“Tapi, saya juga tidak sangka ada penimbunan beras dipendam dalam tanah. Yang pasti, saat ini polisi sedang menyelidiki,” kata Ferry singkat kepada VOI, Selasa (2/8).
Tanggapan Pemerintah Indonesia
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK Andie Megantara mengakui beras yang ditemukan tersebut adalah beras bantuan presiden tahun 2020. Kemungkinan berasal dari penyaluran banpres tahap 2 dan 4 Tahun 2020.
“Beras-beras tersebut memang sudah dalam kondisi tidak laik makan karena rusak akibat perjalanan. Makanya dimusnahkan atau dikubur. Tapi, kalau kesalahan seperti ini, pasti ada penggantian,” ucap Andie dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (1/8).
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berasumsi, penemuan timbunan beras tersebut tidak ada keterkaitannya dengan pemerintah.
Sebab, pemerintah tidak ikut campur lebih jauh mengenai nasib beras yang sudah rusak karena menurut dia itu merupakan tanggung jawab pihak pengangkut.
“Soal itu ditimbun atau di mana itu urusannya dia, itu bukan urusan dari Kemensos, bukan urusan dari pemerintah. Karena beras yang rusak itu sangat mungkin sudah diganti,” kata Muhadjir dilansir dari Kompas.com, Selasa (2/8).
“Soal apakah dia dibuang atau dipakai pakan ayam atau ditimbun itu urusan dia. Apakah itu salah atau tidak, itu juga bukan urusan kami, nanti biar aparat yang menelisik,” sambung Muhadjir.
Menteri Sosial Tri Rismaharini pun tidak mau berkomentar banyak terkait timbunan beras bansos tersebut. Menurut Risma, itu terjadi bukan pada zaman kepemimpinannya.
“Jadi yang jelas, itu bukan zaman saya, karena waktu saya jadi menteri, Bapak Presiden sudah menyampaikan, Bu Risma, jangan bantuan berupa barang,” kata Risma dilansir dari Antara, Senin (1/8).
Pernyataan JNE
Melalui keterangan resminya pada Minggu (31/7), JNE juga membantah telah terjadi pelanggaraan dalam proses pembagian bansos presiden bertugas untuk melakukan distribusi ke masyarakat.
Penimbunan tersebut, kata VP of Marketing PT JNE, Eri Palgunadi sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Terkait dengan pemberitaan temuan beras bantuan sosial di Depok, tidak ada pelanggaran yang dilakukan, karena sudah melalui proses standar operasional penanganan barang yang rusak sesuai dengan perjanjian kerjasama yang telah disepakati dari kedua belah pihak," terang Eri.
Kendati begitu, perusahaan siap mengikuti proses hukum jika diperlukan.
"JNE selalu berkomitmen untuk mengikuti segala prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku apabila diperlukan," tegasnya.
Polisi Panggil JNE dan Kemensos
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan, JNE hanya sebagai kurir yang menerima kontrak dari PT DNR selaku vendor yang bertugas mendistribusikan beras bansos kepada warga sesuai daftar dari pemerintah pada tahun 2020.
“JNE mengambil beras dari gudang Bulog, Pulo Gadung untuk didistribusikan ke masyarakat. Pada saat pengambilan, terjadi gangguan perjalanan, hujan deras sehingga beras dalam kondisi rusak,” tutur Zulpan dalam keterangan pers, Senin (1/8).
Pihak JNE belum bisa memberikan bukti kapan beras yang diambil itu rusak karena hujan. Namun, lanjut Zulpan, JNE sudah memberikan penggantian kerusakan barang kepada pemerintah.
"Karena beras basah dan beras itu telah diganti oleh JNE dengan paket lainnya yang setara. Ini masih kita lakukan pendalaman dengan dokumen dan siapa orang yang dapat beras tersebut," ucap Zulpan.
Selain JNE, pihak kepolisian juga telah meminta keterangan dari Kemensos yang diwakili oleh Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kemensos, Mira Riyanti.
Kemensos, kata Zulpan, tidak mengetahui adanya kerjasama antara PT DNR selaku vendor dengan JNE. Kemensos selaku penanggung jawab program penyaluran justru bekerjasama dengan Bulog dalam distribusi beras bansos dari pemerintah.
"Kami akan memanggil beberapa pihak terkait lagi, termasuk pihak Bulog dimintai keterangan," tutur Zulpan.
Pihak kepolisian juga akan mendalami dugaan korupsi dalam kasus tersebut. "Langkah kepolisian tentu membuat administrasi penyelidikan terhadap kasus ini. Apabila ditemukan unsur-unsur pelanggaran pidana atau korupsi di dalam akan berproses lebih lanjut," tandasnya.
Pada Selasa (2/8), Tim Satgas Pangan Mabes Polri sudah mendatangi langsung lokasi penimbunan beras. Tim juga meminta Rudi Samin datang ke Mabes Polri untuk dimintai keterangan.
“Hanya cek lokasi, baru langkah awal,” kata satu dari lima orang Tim Satgas Pangan yang meninjau lokasi, Kompol Samian.
Korupsi Pengadaan Bansos 2022
Penemuan timbunan beras bansos presiden tahun 2020 tersebut tentu mengingatkan kembali kejadian ketika KPK berhasil mengungkap kasus korupsi pengadaan bansos penanganan COVID-19. Kasus ini menyeret sejumlah nama, satu di antaranya menteri sosial saat itu, Juliari Peter Batubara.
Dalam konferensi pers secara daring pada 6 Desember 2020 Ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan Juliari menerima fee hingga Rp17 miliar dari rekanan. Fee ini sebagai hasil kesepakatan dengan PT RPI, salah satu perusahaan rekanan yang ditunjuk langsung oleh Matheus dan Adi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PKK).
Kesepakatan fee sebesar Rp10.000 per paket bansos dari nilai Rp300.000 per paket bansos.
Pemberian fee dilakukan dalam dua periode. Periode pertama sebesar Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi. Dari jumlah ini, Juliari diduga menerima Rp8,2 miliar.
Fee periode kedua dari Oktober sampai Desember 2020 sekitar Rp8,8 miliar.
“Diduga uang itu akan dipergunakan juga untuk keperluan JPB,” kata Firli.
KPK menyebut program pengadaan bansos tersebut melibatkan 273 kontrak rekanan.
Seperti diketahui, pada 2020, Kemensos membuat program paket bansos untuk rakyat dengan nilai Rp600 ribu per keluarga per bulan. Disalurkan dua tahap dalam sebulan dengan nilai bantuan setiap kali penyaluran Rp 300 ribu per keluarga. Paket bansos berisi 10 jenis barang: mi instan, kornet, sarden, saos sambal, kecap manis, susu, minyak goreng, teh celup, sabun mandi, dan beras.
Hingga saat ini, KPK masih terus mengembangkan kasus pengadaan bansos Kemensos tersebut.
“Kegiatan penyelidikan masih berjalan, sehingga mengenai materi saat ini belum bisa kami sampaikan,” kata Ali Fikri kepada VOI, Senin (1/8).