Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyarankan adanya kombinasi dalam penjatuhan hukuman bagi pelaku korupsi untuk memberikan efek jera.

"Dalam bayangan ICW, harus ada kombinasi hukuman untuk memberikan efek jera. Pertama, pemidanaan penjara yang maksimal, yang kedua dendanya harus tinggi, dan ada pidana tambahan," ujar Kurnia Ramadhana dilansir Antara, Rabu, 5 Januari.

Ia lantas menjelaskan penerapan masing-masing bentuk hukuman tersebut selama ini di Indonesia. Pertama, kata dia, penjatuhan hukuman pemidanaan terhadap para koruptor belum maksimal.

Lalu terkait hukuman berupa denda, menurut dia, uang denda bagi para koruptor yang diatur Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih berada di bawah nilai denda Undang-Undang Narkotika dan Tindak Pidana Terorisme.

"Dendanya pada Undang-Undang Tipikor masih rendah. Maksimalnya adalah Rp1 miliar. Itu pun hanya dimuat dalam beberapa pasal, seperti gratifikasi dan kerugian keuangan negara. Kalau dibandingkan dengan undang-undang lainnya, seperti Undang-Undag Narkotika dan Terorisme, itu angkanya sangat jomplang," kata Kurnia Ramadhana.

Ia pun memaparkan data termutakhir ICW yang menunjukkan bahwa dari 1.298 terdakwa tidak pidana korupsi, hanya ada enam orang yang dikenai denda maksimal.

Selanjutnya terkait dengan uang ganti rugi, kata Kurnia Ramadhana, total kerugian negara yang disebabkan praktik korupsi pada tahun 2020 mencapai Rp56 triliun. Namun, yang baru dikembalikan sebanyak Rp18 triliun.

Menyinggung soal pidana tambahan, Kurnia Ramadhana memandang belum semua koruptor yang beririsan dengan partai politik ataupun jabatan publik diberikan hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.

Menutup pemaparannya, Kurnia Ramadhana​​​​​​​ menyampaikan kombinasi hukuman terhadap para pelaku korupsi yang mampu memberikan efek jera sehingga upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dioptimalkan.