Kaleidoskop 2020: Protokol Kesehatan Diabaikan, Hukum Dikedepankan

JAKARTA - Tahun 2020 tinggal menghitung hari dan berganti 2021. Sepanjang 2020 bisa dikatakan menjadi sejarah yang tak terlupakan semua belahan dunia, termasuk Indonesia. Penyebabnya COVID-19. Virus yang pertama kali di temukan di China, berkembang pesat pada 2020.

Awal 2020, tepatnya Maret, pemerintah mengumumkan temuan virus pertama. Virus ini terus berkembang bagai api melahap hutan di musim kemarau. Pemerintah sempat sedikit bimbang mengambil dalam keputusan untuk menekan virus ini. Faktor ekonomi menjadi penyebabnya.

Pada akhirnya, pemerintah pusat dan daerah mengambil langkah melarang masyarakat beraktivitas di luar ruangan. Aturan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Jakarta sempat melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat. Dimasa ini, tidak ada kegiatan di luar rumah. Hampir semua perkantoran libur. Tujuannya menekan penyebaran virus. Akhirnya PSBB dilonggarkan seperti saat ini. Masyarakat dibolehkan melakukan aktivitas. Tapi tetap menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.

Awalnya semua berjalan lancar, hanya pelanggaran kecil yang ditemukan dan bisa selesai dengan hukuman serta denda. Di masa ini, kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan mulai menurun.

Mereka seolah tak peduli dengan keselamatan orang lain, bahkan keluarganya sendiri. Sebab, mereka tetap beraktivitas di luar ruangan dengan alasan mencari rezeki bagi keluarga. Tingkat pelanggaran kian meningkat. Penegakan hukum pun dikedepankan. Tujuannya untuk melindungi masyarakat. Apalagi Presiden Jokowi sudah menegaskan, kesehatan adalah yang utama.

Merujuk data penindakan Polri, tercatat 34 perkara pelanggaran protokol kesehatan terjadi selama 2020. Bahkan, 91 orang ditetapkan sebagai tersangka.

Kapolri Jenderal Idham Azis mengatakan, puluhan perkara yang ditangani itu menjerat berbagai kalangan. Baik itu warga biasa hingga para pejabat negara.

"Penegakan hukum 34 perkara pelanggaran protokol kesehatan dengan 91 tersangka," ucap Idham.

Puluhan pelanggaran ini bukan biasa-biasa saja. Sebab, pelanggaran juga banyak terjadi pada saat masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Namun, pelanggaran ini terus terjadi. Penindakan akan terus dilakukan hingga Indonesia keluar dari masa pandemi COVID-19.

Kasus Pelanggaran Protokol Kesehatan Menonjol

Melihat beberapa bulan kebelakang, ada beberapa perkara pelanggaran protokol kesehatan yang cukup menonjol. Misalnya, pesta pernikahan anggota Polri yakni, mantan Kapolsek Kembangan Kompol Fahrul Sudiana.

Dia menggelar respsi pernikahan di Hotel Mulia, pada 21 Maret 2020. Padahal, saat itu masuki tahap awal masa pandemi COVID-19. Terlebih Kapolri pun telah menerbitkan maklumat nomor Mak/2/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (COVID-19).

Demi kesehatan, polri tidak pandang bulu. Dia pun diperiksa oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya. Alhasil, dari pemeriksaan itu Kompol Fahru Sudiana dinyatakan bersalah. "Hasil propam Polda metro Jaya telah melanggar disiplin kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Kamis, 2 April.

Fahru Sudiana kemudian dicopot dari jabatannya sebagai pimpinan wilayah di tingkat kecamatan. Bahkan, mengawasi semua perilakunya dia ditempatkan di Polda Metro Jaya untuk sementara waktu. Pemindahan tugas terhadapnya tertuang dalam Surat Telegram bernomor ST/297/IV/KEP/2020 tertanggal 1 April 2020.

Enam bulan kemudian, terjadi lagi pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pejabat negara. Kali ini, Wakil Ketua DPRD Tegal Wasmad Edi Susilo menjadi pelakunya. Sebab saat masa pandemi COVID-19 dan penggalakan sosial distancing oleh pemerintah, dia justru menggelar acara dangdutan.

Sehingga, ribuan orang tumpah ruah di konser dangdut yang digelar di lapangan Tegal Selatan, Kota Tegal pada Rabu, 23 September malam. Bahkan, pelaksanaan konser itupun diduga tidak mengantongi izin dari kepolisian.

Direktorat Polda Jawa Tengah turun tangan menangani perkara pelanggaran protokol kesehatan ini. Wasmad diperiksa intensif oleh polisi. Hingga akhirnya dia ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam perkara ini, penyidik menggunakan Pasal 93 Undang-Undang nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 216 ayat 1 KUHP Pidana juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.

Meski menjadi tersangka, Wasmad tidak ditahan. Pasal yang digunakan penyidik tak memenuhi syarat untuk menahananya. Sehingga, dia tetap bisa berada di rumah sembari mengikuti berjalannya proses perkara. "Tidak ditahan. Ancaman 1 tahun soal Undang-Undang Kekarantinaan," kata Argo.

Bahkan, perkara ini telah tahap persidangan. Sidang perdana perkara ini digelar di Pengadilan Negeri Tegal, pada Selasa, 17 September.

Selanjutnya, perkara pelanggaran protokol kesehatan yang menonjol terjadi pada akhir 2020. Perkara ini melibatkan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Berikut perjalanan singkat kasus Rizieq Shihab.

Selain Rizieq Shihab, Polisi menetapkan lima tersangka lain Penetapan disebut berdasarkan gelar pekara, alat bukti serta pemeriksaan saksi dan ahli.

Lima tersangka lainnya antara lain Haris Ubaidillah selaku ketua panitia, Ali bin Alwi Alatas (sekretaris panitia), Maman Suryadi (Panglima FPI dan penanggungjawab keamanan), Sobri Lubis (penanggung jawab acara), serta Idrus (kepala seksi acara).

Meski sama-sama berstatus sebagai tersangka, hanya Rizieq yang dijerat dengan pasal berbeda. Penyidik menggunakan Pasal dijerat Pasal 160 dan 216 KUHP. Untuk Pasal 160 KUHP tentang penghasutan untuk melakukan kekerasan dan tidak Menuruti ketentuan Undang-undang, dengan ancaman enam tahun penjara atau denda Rp4.500.

Sedangkan, Pasal 216 ayat 1 KUHP tentang menghalang-halangi ketentuan Undang-undang. Ancamannya, pidana penjara empat bulan dua minggu atau denda Rp9.000.

Namun untuk lima tersangka lainnya itu, penyidik hanya menggunakan  Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam aturan ini mereka terancam kurungan satu tahun atau denda Rp100 juta.

Tak jauh berbeda, proses penyelidikan dan penyidikan perkara kerumunan di Megamendung yang ditangani Polda Jawa Barat juga melalui proses yang sama. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sempat diminta keterangannya soal kebijakan PSBB.

Selain itu, pejabat pemerintahan lainnya serta pengelola pesantren juga sempat dimintai keterangan. Hingga akhinya, Polda Jawa Barat memutuskan untuk meningkatkan status perkara kerumunan ini dari penyelidikan ke penyidikan pada 26 November.

Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Erdi Chaniago mengatakan, peningkatan status perkara ini setelah pihakmya memeriksa belasan saksi dan alat bukti. Hingga akhirnya ditemukan adanya pelanggaran pidana.

"Sudah naik ke tahap penyidikan, kami sudah buatkan juga sprindiknya," katanya.

Tapi tak lama berselang, penanganan perkara ini ditarik oleh Bareskrim Polri. Bahkan, perkara yang ditangani Polda Metro Jaya juga ditarik.

Tak lama setelah dilimpahkan, penyidik Bareskrim Polri mentetapkan Rizieq Shihab sebagai tersangka kerumunan Megamendung, Bogor, pada 23 Desember.

Direkrut Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian mengatakan, Rizieq ditetapkan tersangka ini berdasarkan tiga alat bukti dan gelar perkara.

"Iya sudah (ditetapkan tersangka)," kata Andi.

Dalam perkara ini, penyidik menerapkan pasal berbeda dengan perkara kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat. Penyidik sepenuhnya menggunakan pasal terkait kekarantinaan kesehatan.

Dalam perkara ini, penyidik menggunakan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.

Selain itu, dalam perkara ini juga hanya Rizieq yang menjadi tersangka. Alasannya, dalam rangkaian kegiatan itu tidak ada panita acara. Sehingga, yang bertanggung jawab atas terjadinya kerumunan hanya Rizieq Shihab.

"Alat bukti menunjukkan bahwa Rizieq yang bertanggung jawab sehingga terjadi kerumunan," ucapnya.

"Tidak ada kepanitiaan, panitiannya tidak ada kalau di (kerumunan) Megamendung," sambung Andi.

Sampai saat ini, proses penyidikan peraka ini pun masih berlanjut. Bahkan, Rizieq juga sudah menjalani masa penahanan di rumah tahanan (Rutan) Naroko Polda Metro Jaya selama 20 hari kedepan, terhitung sejak 12 Desember hingga 31 Desember.

Beberapa Pejabat Dicopot

Dampak buruk dari pelanggaran protokol kesehatan tak hanya diterima bagi mereka yang melanggar. Sebab, beberapa pejabat Polri hingga unsur kepemerintahan dicopot dari jabatannya karena tidak mencegah pelanggaran tersebut.

Contoh nyata pencopotan pejabat terlihat jelas pada kasus yang menjerat Rizieq Shihab. Akibat terjadinya pelanggaran protokol kesehatan di Petamburan dan Megamendung, dua Jenderal Polri yakni Irjen Nana Sudjana dan Irjen Rudy Sufahriadi dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat.

Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan, pencopotan kedua jenderal itu teruang dalam Telegram Rahasia (TR) Kapolri nomor ST 3222/XI/Kep/2020, tanggal 16 November 2020. Dalam surat perintah itu, Irjen Nana dipindahkan sebagai staf Kapolri. Sedangkan, Irjen Rudy Sufahriadi dipindah ke Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat Polri).

"Ada dua kapolda yang tidak melaksanakan perintah dalam menegakkan protokol kesehatan, maka diberikan sanksi berupa pencopotan yaitu Kapolda Metro Jaya, kemudian Kapolda Jawa Barat," kata Argo.

Selain dua jenderal Polri, permasalahan ini juga berdampak dicopotnya Bayu Megantara sebagai Wali Kota Jakarta Pusat dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI. Mereka dinyatakan terbukti memfasilitasi kerumunan pada acara Maulid Nabi yang digelar pimpinan FPI, Muhammad Rizieq Shihab.

Tapi nasib mereka masih cukup baik. Sebab, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mempertahankan keduanya dan mengangkat mereka menjadi anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI.

"Seusai dicopot, keduanya langsung dimutasi sebagai anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan sampai ada penugasan lebih jauh," kata Kepala Badan Kepegawaian DKI, Chaidir.

Dalam persoalan ini, Inspektorat DKI sebagai pihak pengawas tidak hanya memeriksa Bayu dan Andono. Beberapa pejabat daerah juga ikut diperiksa. Mereka antara lain Camat Tanah Abang Muhammad Yassin, Lurah Petamburan Setiyanto, Kepala Bidang Pengelola Kebersihan Dinas LH Edy Mulyanto, Kepala Suku Dinas LH Jakpus Marsigit, dan Kepala Seksi Pengendalian Kebersihan Dinas LH Aldi Jansen.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, jajaran kecamatan, kelurahan dan Suku Dinas Lingkungan Hidup ditemukan justru meminjamkan fasilitas milik pemprov untuk kegiatan yang bersifat pengumpulan massa.

"Pencopotan ini berdasar dari hasil audit Inspektorat DKI Jakarta yang menilai keduanya telah lalai dan abai dengan tidak mematuhi arahan dan instruksi dari Gubernur," ucap Chaidir.

"Permasalahannya bukan sekadar soal terjadinya peminjaman, tapi soal lima arahan tertulis yang jelas dan tegas dari atasan tidak dilaksanakan dengan baik. Mereka mengakui dan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang ada," sambung dia.

Selain itu, pencopotan jabatan juga dialami oleh Sukana yang sebelumnya merupakam Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tanah Abang. Pencopotan ini dengan alasan dia dianggap mendukung terjadinya pelanggaran protokol kesehatan dengan menjadi pihak yang menikahkan Muhammad Irfan Alaydrus dan Syarifah Najwa Shihab.

"Sukana mulai hari ini tidak lagi mendapat mandat tugas tambahan sebagai Kepala KUA. Sukana dimutasi sebagai penghulu di Kemenag Jakarta Pusat," kata Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Kamaruddin Amin.

Padahal, Sukasana seharusnya mengetahui ketentuan penerapan protokol kesehatan tersebut jelas diatur dalam Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nomor: P-006/DJ.III/Hk.00.7/06/2020 tanggal 10 Juni 2020 tentang Pelayanan Nikah Menuju Masyarakat Produktif Aman COVID-19

Dengan tebukti adanya keterlibatan, Sukana dimutasi menjadi penghulu di kawasan Jakarta Pusat.

"Arahan Menag tegas dan jelas. Kelalaian atas pelaksanaannya pasti akan diberi tindakan tegas, karena dapat membahayakan orang banyak yang ada di tempat itu, dan juga akan membahayakan anak-anak dan keluarga mereka di rumah saat virus itu terbawa ke rumah," kata dia.

Dari rangkaian persolan kerumunan terkait Rizieq Shihab, setidaknya ada lima pejabat negara yang dicopot dari jabatannya. Sehingga, bisa disimpulkan jika pelanggaran protokol kesehatan tidak hanya berdampak pada sisi medis. Sebab, mereka yang tak tegas mencegah terjadinya pelanggaran juga terkena imbasnya.