Lonjakan Kasus COVID-19, Picu Kelangkaan Obat di Pasaran
Plt Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya. (Foto: ANTARA/Andi Firdaus).

Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah kendala distribusi obat terapi COVID-19 ke berbagai fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat masih terjadi. Kesulitan ini diakui oleh Plt Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya.

"Memang ini ‘kan lonjakan kasus yang dua pekan terakhir itu di luar dari prediksi kita, yang awalnya sebelum Idul Fitri 2021 itu kelihatan stabil, dan sekarang lonjakan kasus bahkan lebih besar daripada pada tahun lalu atau pada bulan Februari 2021," katanya dalam konferensi pers secara virtual yang dipantau dari Jakarta, Sabtu sore.

Hal lain yang mempengaruhi pasokan obat terapi COVID-19 adalah ketersediaan bahan baku di dalam negeri yang terbatas jumlahnya. Kondisi ini menyebabkan produsen masih terus mengandalkan produk jadi secara impor.

"Ada beberapa produk seperti Remdesivir, Tocilizumab, ini masih impor dari berbagai negara seperti India, Bangladesh, China dan Jerman. Sebenarnya kalau obat-obatan yang seperti Oseltamivir, Azythromycin, vitamin kita sudah diproduksi di dalam negeri," katanya.

Muncul pertanyaan dari wartawan, apakah hambatan distribusi obat ini juga terpengaruh oleh mafia obat-obatan sehingga menimbulkan kelangkaan dan harga yang mahal di pasaran.

"Kami tidak bisa bilang bahwa itu (mafia obat) ada atau tidak ada, tapi kalau kita lihat stok obat ini cukup banyak, tentunya kita akan terus melakukan pemantauan kepada industri atau pedagang besar farmasi (PBF) untuk tidak melakukan penimbunan dari obat-obatan tersebut karena kalau kita menghitung dari kebutuhan dibandingkan dengan stok maka harusnya masih cukup," katanya.

Hambatan lain, menurut Arianti, adalah pelambatan produksi yang dipengaruhi oleh sejumlah pegawai industri farmasi yang terkonfirmasi COVID-19.

"Kita juga tahu kondisi sekarang keterbatasan industri juga ada yang sebagian stafnya terkonfirmasi positif COVID-19. Itu juga menjadi kendala. Tetapi kami terus mengupayakan agar pendistribusian bisa sesegera mungkin," katanya.

Arianti memastikan bahwa pemerintah sedang berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan produksi dan distribusi dari ketersediaan obat-obatan di tengah lonjakan kasus yang sangat tinggi.

Berdasarkan pemetaan kebutuhan obat yang dilakukan Kemenkes, katanya, jumlah obat terapi COVID-19 yang terbatas berada di zona merah sehingga perlu mendorong produsen serta pedagang besar farmasi untuk memprioritaskan distribusinya ke lokasi tersebut.

"Dalam hal ketidakpatuhan apotek atau adanya penjualan obat COVID-19 yang melebihi dari harga pemerintah, maka Kementerian Kesehatan sudah bekerja sama dengan aparat penegak hukum yang akan menindaklanjuti terhadap ketidakpatuhan terhadap peraturan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah," katanya.

Arianti menambahkan peningkatan kebutuhan obat terapi bagi pasien COVID-19 juga mendorong permintaan penambahan anggaran dari pemerintah.

"Dengan adanya lonjakan kasus yang sekarang, bukan tidak mungkin akan ada penambahan anggaran lagi untuk pembelian obat-obatan yang harus disediakan oleh Kementerian Kesehatan untuk 'buffer stock' maupun untuk melayani pasien yang isoman," katanya.