Bagikan:

JAKARTA - Kasus gagal bayar Garuda Indonesia atas sukuk global senilai 500 juta dolar AS memunculkan pertanyaan tentang bagaimana restrukturisasi sukuk, resolusi, dan keberlakuannya di Indonesia. Demikian yang dilontarkan oleh lembaga pemeringkat utang internasional Fitch Ratings.

“Preseden hukum untuk penegakan yang efektif di banyak yurisdiksi di mana penerbitan sukuk lazim masih kurang, termasuk di Indonesia,” kata Direktur Fitch Ratings Indonesia Olly Prayudi seperti yang dikutip pada Jumat, 9 Juli.

Menurut dia, masih belum pasti apakah pemegang sertifikat akan dapat menegakkan hak kontraktual mereka di pengadilan yang relevan.

“Fitch tidak menilai Garuda atau sukuknya, tetapi memantau perkembangannya dengan cermat,” tutur Olly.

Lebih lanjut,persyaratan syariah dapat membuat resolusi default sukuk lebih kompleks daripada resolusi default obligasi. Kompleksitas juga ditambah dengan struktur permodalan Garuda yang terdiri dari beberapa jenis instrumen utang, antara lain sukuk, sekuritisasi beragun aset, pinjaman bank, anjak piutang dan sewa pesawat.

“Ini melibatkan berbagai pihak off- dan on-shore. Penguasa memiliki lebih dari 60% saham Garuda dan penawaran sukuk maskapai tidak mengandung jaminan pemerintah atau lembaga keuangan,” ujarnya.

Dalam catatan Olly, pandemi virus corona yang sedang berlangsung tetap menjadi risiko utama bagi pemulihan Garuda dan penerbit sukuk berbasis di Indonesia lainnya, dengan default sukuk korporasi dalam negeri memuncak pada 4,2 persen pada tahun 2020 (2019: 0,6 persen).

“Kami mengklasifikasikan Indonesia di Grup D di bawah Kriteria Peringkat Pemulihan Perlakuan Khusus Negara kami. Negara-negara di bawah kelompok ini adalah negara-negara di mana hukum tidak mendukung hak-hak kreditur atau di mana volatilitas yang signifikan dalam penerapan hukum dan penegakan hukum dari setiap klaim membatasi peluang praktis pemulihan atau sangat meningkatkan volatilitas prospek pemulihan,” jelasnya.

Untuk diketahui, moratorium utang yang diawasi pengadilan dan proses kepailitan untuk sukuk jarang terjadi, mengingat kerumitan pembuatan aplikasi semacam itu di pengadilan agama dalam negeri, berbeda dengan pengadilan niaga.

Hukum Indonesia menyatakan bahwa pengadilan agama memiliki kewenangan dalam menyelesaikan sengketa keuangan Islam. Namun, dalam praktiknya, hal ini dapat diselesaikan di pengadilan niaga jika kedua belah pihak setuju.

“Pengadilan agama sering digunakan untuk menyelesaikan transaksi ritel yang lebih sederhana, sementara pengadilan komersial biasanya mengadili sengketa komersial yang kompleks, karena pihak yang berperkara menganggap pejabat lebih kompeten dalam memutuskan masalah tersebut,” sebut Olly.

Sementara, sukuk yang diterbitkan di pasar modal internasional biasanya diatur oleh hukum Inggris dan tunduk pada yurisdiksi pengadilan Inggris atau pengadilan lain yang diakui oleh hukum dan yurisdiksi internasional.

“Tetapi yang perlu diingat adalah bagian dari dokumentasi dan keputusan apa pun juga akan diatur dan ditinjau oleh pengadilan di mana pembuatnya berdomisili dan keberlakuannya akan dibatasi oleh undang-undang setempat,” tutup dia.