JAKARTA - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) tengah berada di ambang kebangkrutan. Tidak hanya menanggung utang hingga Rp70 triliun, kondisi Garuda Indonesia juga diperburuk dengan okupansi penumpang yang anjlok imbas pandemi COVID-19. Garuda mengalami kerugian 100 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,4 triliun per bulan (dengan asumsi Rp14.300 per dolar).
Mengenai kondisi Garuda Indonesia ini, Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza mengatakan DPR dalam hal ini komisi VI akan memanggil jajaran direksi Garuda dan Menteri BUMN Erick Thohir dalam waktu dekat.
Adapun pemanggilan jajaran direksi ini dilatarbelakangi protes dari para wakil rakyat di Komisi VI DPR RI saat rapat dengan Erick Thohir mengenai kondisi Garuda.
"Sekarang kita fokuskan dulu untuk pembahasan terkait Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian BUMN Tahun Anggaran 2022. Untuk pembahasan terkait Garuda, dalam waktu dekat ini akan kita gelar," ujar Faisol Riza saat memimpin rapat kerja, Kamis, 3 Juni.
Garuda alami kerugian Rp1,4 triliun per bulan
Petinggi perseroan pun harus memutar otak agar dapat menjaga arus keuangan supaya bisa mempertahankan bisnis di kondisi saat ini. Termasuk dalam hal ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pemegang saham.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan dalam sebulan beban biaya operasional Garuda sebesar 150 juta dolar AS. Sedangkan pendapatan hanya mencapai 50 juta dolar AS.
"Jadi setiap bulan rugi 100 juta dolar AS (Rp1,4 triliun). Memang sudah tidak mungkin lagi kita lanjutkan dalam kondisi seperti ini. Memang kita harapkan dukungan dari anggota dewan untuk masuk dalam proses restrukturisasi berat," katanya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis, 3 Juni.
Tiko sapaan akrabnya, mengatakan untuk melakukan proses restrukturisasi setidaknya membutuhkan waktu selama 270 hari dengan proses hukum yang panjang dan melelahkan. Selain itu, kata dia, prosesnya juga dilakukan di hadapan internasional karena krediturnya merupakan investor ataupun perbankan dunia.
"Memang ada risiko kalau proses restrukturisasi ini kemudian kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda Indonesia bisa terjadi tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa jadi menuju kebangkrutan. Ini yang kita hindari," ucapnya.
Untuk melancarkan aksi restrukturisasi, kata Tiko, pemerintah sedang menunjuk konsultan hukum dan konsultan keuangan dalam waktu dekat. Sembari menunggu proses restrukturisasi, untuk menjaga arus keuangan moratorium atau penundaan penerbangan pun akan dilakukan. Khususnya untuk rute-rute yang kurang produktif.
Tiko berujar apabila proses restrukturisasi berjalan dengan lancar dan mengalihkan biaya operasional maka dapat menghemat pengeluaran hingga lebih dari 50 persen. Menurut dia, langkah ini juga dapat menambah panjang napas perseroan hingga kondisi industri penerbangan semakin kondusif.
Targetkan restrukturisasi Rp21,4 triliun
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menargetkan nilai restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, mencapai 1,5 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp21,4 triliun (Kurs Rp 14.400 per dolar AS). Seperti diketahui, utang GIAA tercatat 4,5 miliar dolar AS atau mendekati Rp70 triliun.
BACA JUGA:
Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan permasalahan utama Garuda di masa lalu karena penyewaan yang melebihi cost atau pengeluaran wajar dan jenis pesawat yang dimiliki terlalu banyak.
Seperti diketahui, Garuda Indonesia memiliki sejumlah armada mulai dari pesawat Boeing 737, Boeing 777, Airbus A320, A330, hingga ATR dan bombardier.
"Karena pesawat banyak, sehingga memang efisiensi menjadi bermasalah," katanya.
Apalagi, kata Kartika, rute yang diterbangi oleh Garuda banyak yang tidak profitable atau menguntungkan. Menurut dia, sebetulnya pada 2019 Garuda sudah untung tapi terhantam pandemi pada tahun 2020.
Tak hanya itu, menurut Kartika, ada permasalahan baru yaitu perubahan pengakuan kewajiban mengikuti pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK). Di mana operasional list yang dicatat sebagai opex kemudian dicatat sebagai utang.
"Utang yang tadinya Rp20 triliun membengkak menjadi Rp70 triliun. Memang secara PSAK diwajibkan dicatatkan sebagai kewajiban," ujarnya.
Tiko sapaan akrab Kartika Wirjoatmodjo menyebut, secara sederhana, jika EBITDA Garuda tidak sampai 200 hingga 250 juta dolar AS, maka kondisi keuangan normal maksimum rasionya harus 6 kali. Jadi, sekitar 250 juta dolar AS dikali 6 menjadi 1,5 miliar dolar.
"Di atas itu Garuda tidak bisa going concern, karena tidak akan mampu bayar utang-utangnya," katanya.