JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sorotan publik di Indonesia belakangan ini. Penyebabnya tak lain adalah dikabulkannya permohonan uji materi UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Memang, MK tidak mengubah batas usia minimum capres dan cawapres, yakni tetap berusia 40 tahun. Namun, lembaga yang dipimpin Anwar Usman itu menambahkan frasa baru, yakni pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui proses pemilihan umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sontak dikaitkan dengan karpet merah bagi seorang Gibran Rakabuming Raka. Meski dalam gugatannya, pemohon tidak secara gamblang menyebut nama putra sulung Presiden Joko Widodo itu, tapi publik bisa menafsirkan jika gugatan batas usia seorang capres dan cawapres dihubungkan dengan sosok Wali Kota Solo yang digadang-gadang maju di Pilpres 2024.
Kontroversi terhadap putusan itu terus bergulir. Sebab, Ketua MK, Anwar Usman merupakan ipar Presiden Jokowi atau paman dari Gibran. Hal inilah yang membuat sorotan terutama dari segi etika, apakah pantas Anwar Usman ikut terlibat dalam pengambilan putusan tersebut.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie pernah mengimbau agar Anwar Usman tidak ikut serta memutus permohonan uji materi batas usia capres dan cawapres untuk menghindari tudingan miring termasuk MK yang dipelesetkan menjadi Mahkamah Keluarga.
Dia menilai, akan lebih baik jika permohonan uji materi itu diputus oleh delapan hakim konstitusi lain di luar Anwar Usman. Jimly tetap melihat adanya potensi perbedaan pendapat (dissenting opinion) meski hanya diputus delapan hakim konstitusi.
“Lebih baik ketua itu lebih baik mengundurkan diri dari penanganan perkara. Jadi tidak bisa dituduh bahwa ini ada kaitan keluarga. Selebihnya diserahkan pada delapan hakim lain. Belum tentu sama pendapatnya kan. Jadi kayaknya seru ada dissenting. Kalau putusan ada dissenting berarti ada perdebatan substansial secara internal. Hakim dengan independensinya masing-masing, dengan keyakinannya masing-masing untuk memutus perkara ya harus kita hormati,” papar Jimly.
Apapun pandangan dan opini publik, pada kenyataannya Anwar Usman tetap terlibat dalam memutuskan gugatan uji materi batas usia capres dan cawapres. Bahkan, putusan yang dikeluarkan Senin (16/10) dibacakan langsung oleh Anwar Usman.
Gibran Rakabuming Resmi Diusung KIM
Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah menilai, putusan MK tidak boleh dilihat sebagai karpet merah bagi Gibran. Menurut dia, putusan itu justru membuka pintu bagi anak-anak muda berprestasi yang selama ini terhambat untuk maju sebagai calon pemimpin bangsa oleh peraturan perundangan.
“Ini yang harusnya menjadi concern kita semua. Putusan MK jadi pendobrak bagi anak-anak muda berprestasi yang harusnya bisa menjadi pemimpin bangsa. Lebih baik lagi kalau threshold juga dihilangkan baik itu parliamentary threshold maupun presidential threshold,” tukasnya.
Terlepas dari soal putusan itu terkait dengan Gibran atau tidak, faktanya, lima hari usai putusan MK, Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar yang digelar Sabtu (21/10) resmi mengajukan nama Gibran sebagai bakal cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Minggu (22/10) malam, pertanyaan publik akhirnya terjawab. Rapat para ketua umum parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju secara resmi mendeklarasikan pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal capres dan cawapres 2024.
BACA JUGA:
Terlepas dari etis atau tidaknya seorang Anwar Usman ikut memutuskan permohonan uji materi batas usia capres dan cawapres karena tidak secara langsung terkait dengan nama Gibran dalam permohonan, ada persoalan yang lebih besar dan akan menjadi pertaruhan kredibiltas dan independensi MK ke depan.
Apalagi, setelah KIM mendeklarasikan pasangan Prabowo – Gibran dan akan rencananya didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu, 25 Oktober. Bila pasangan yang diusung KIM itu lolos verifikasi dan dinyatakan sebagai capres serta cawapres 2024, maka satu pertanyaan besar tertuju ke MK. Masih pantaskah MK mengadili sengketa Pemilu 2024 jika masih dipimpin Anwar Usman?
Kepatutan MK Mengadili Sengketa Pilpres 2024
Sesuai UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, MK memiliki kewenangan untuk mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) baik pemilu legislatif maupun pilpres bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan KPU.
Terkait hal itu, pakar politik, Ikrar Nusa Bakti punya pandangan sendiri. Menurutnya, MK memang merupakan mahkamah tertinggi yang memutus apakah sebuah UU bertentangan dengan konstitusi atau tidak, dan juga juga mengadili kasus-kasus yang terjadi dalam sengketa pemilu presiden, pemilu legislatif, DPD, dan kepala daerah.
“Putusan MK itu bersifat tetap dan mengikat, tapi, jika putusan MK terkait siapa menjadi capres/cawapres (batas usia) banyak dipertanyakan orang, bagaimana MK bisa dipercaya dalam memutuskan sebuah sengketa pemilu yang akan datang,” ujarnya, Sabtu 21 Oktober.
Apalagi, banyak para pakar hukum yang mempertanyakan putusan MK terkait dengan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Ikrar menyebut, dalam gugatan yang sama tapi diajukan parpol dan kepala daerah ditolak oleh MK. Tapi, mahkamah justru mengabulkan gugatan yang diajukan oleh mahasiswa.
“Kenapa gugatan (soal yang sama) ditolak, kenapa yang itu (gugatan umur capres/cawapres yang baru-baru ini diputus MK) diterima? Kalau standingnya mahasiswa, memang dia mau menjadi wapres? Tidak masuk akal,” tukasnya.
Menurut dia, tidak salah jika Putusan MK mengabulkan tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden itu terkait adanya kepentingan politik yang menginginkan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai kandidat Pemilu Presiden 2024. Sebab, Gibran yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhalang usia minimal 40 tahun.
Namun, MK telah memutuskan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden tetap 40 tahun, kecuali berpengalaman menjadi kepala daerah. Terlebih, lanjut Ikrar, Ketua MK Anwar Usman merupakan paman dari Gibran.
“Saldi Isra bahkan mengatakan mengapa harus terburu-buru memutuskan gugatan soal umur capres. Memang sudah sepenting itu? Makanya, diduga adanya penyalahgunaan kekuasaan MK untuk memutuskan perkara umur ini,” ujarnya.
Dia menilai, demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah menuju ke arah kematangan dan bisa mencapai puncak pada pemilu kesembilan sejak reformasi. Sedangkan, Pemilu 2024 merupakan pemilu keenam sejak reformasi. Artinya, masih ada tiga pemilu lagi yang akan membuat pemilu di Indonesia benar-benar membuat demokrasi yang substansial yang matang.
Tapi bila pada pemilu keenam ini ada pemaksaan anak presiden menjadi cawapres, maka demokrasi akan mundur jauh ke sebelum masa reformasi. Namun demikian, Ikrar menegaskan hal ini bukan berarti menentang sikap Presiden Joko Widodo.
Anwar Usman Belum Dipastikan Ikut Adili Sengketa Pilpres 2024
Namun, tokoh-tokoh demokrasi ingin menyadarkan bahwa menjadikan Gibran sebagai calon wakil presiden bukan hal sederhana apalagi ayahnya masih menjabat sebagai Kepala Negara.
“Bayangkan, jika anakmu bertanding untuk jabatan tertentu dan kamu menjadi juri utamanya. Bagaimana bisa berlangsung netral. Jika Gibran maju, maka lapangan berkompetisi itu tidak setara. Kita bukan mau menentang Jokowi, tetapi kita ingin menyadarkan. Mudah-mudahan Pak Jokowi sadar,” tutup Ikrar Nusa Bakti.
Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih mengungkapkan bahwa pihaknya belum bisa memastikan apakah Anwar Usman tidak akan mengadili sengketa hasil Pilpres 2024 yang mungkin melibatkan Gibran. Dia berasalan, tuduhan konflik kepentingan yang dialamatkan kepada Anwar belum terbukti.
“Saya kira (pelanggaran etik karena konflik kepentingan) itu sesuatu yang belum terjadi. Kami serahkan sepenuhnya ke MKMK. Jangan kami intervensi lah mereka (anggota MKMK) yang sudah memiliki kredibilitas yang tinggi, masa kami intervensi di situ. Apakah betul ada persoalan terkait dengan intervensi atau terkait dengan berbagai macam itu kami serahkan sepenuhnya. Kami tidak ikut campur kepada mekanisme kerja dari MKMK,” kilahnya dalam konferensi pers pembentukan Majelis Kehormatan MK (MKMK), Senin 23 Oktober.
Enny menyatakan, selama ini MK hanya mengadili norma, bukan mengadili orang sebagaimana pada pengadilan pidana atau perdata. Karena alasan normatif itu, mereka merasa tuduhan konflik kepentingan tersebut tidak mudah dibuktikan, sehingga menyerahkan sepenuhnya kepada MKMK untuk membuktikan.
Namun, dia menegaskan bahwa bahwa dalam mengadili sengketa hasil pemilu, MK akan memastikan para hakim konstitusi bersih dari keterkaitan dengan para pihak yang berperkara. “Perselisihan hasil pemilihan presiden pasti akan kami lakukan yang terbaik. Sebagaimana yang telah kami lakukan, persidangan sangat terbuka, tidak ada sedikitpun yang kami tutupi di situ,” tambah Enny.
Putusan MK Bisa Jadi Dasar Sengketa Pilpres 2024
Di sisi lain, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres/cawares bisa menjadi dasar sengketa hasil Pilpres 2024, jika Gibran berhasil lolos menjadi kandidat dan berhasil menang.
“Apalagi ini ada yang dianggap melanggar konstitusi tapi oleh putusan MK dibolehkan. Bukan tidak mungkin itu menjadi permasalahan suatu waktu nanti. Akan menjadi sengketa tersendiri, bahwa proses pencalonan yang curang, sehingga mengubah hasil pemilu,” tuturnya.
Menurut dia, masalah muncul karena ada berbagai kejanggalan dalam putusan yang membuat Gibran bisa maju ke kontestasi Pilpres 2024. Feri menjelaskan, Gibran awalnya terbentur syarat usia minimum 40 tahun untuk maju menjadi capres-cawapres. Namun, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menambahkan bunyi 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, “pernah menjadi penyelenggara negara yang terpilih melalui pemilu” sebagai syarat alternatif dari usia minimum 40 tahun.
Masalahnya, lanjut Feri, dua dari lima hakim konstitusi yang menyetujui putusan itu rupanya tidak bulat pandangan. Hakim Enny Nurbaningsih dan Daniel Foekh menyatakan bahwa penyelenggara negara yang dapat dikecualikan dari usia minimum 40 tahun hanyalah gubernur. Sementara Gibran masih berstatus Wali Kota Solo.
“Putusannya (seharusnya cuma) gubernur (yang bisa dikecualikan dari usia minimum 40 tahun untuk maju capres-cawapres). Dan itu bisa menjadi bahan sengketa,” ungkap Feri.
Dia juga menilai, meski sudah ada sejumlah laporan masuk ke Dewan Etik Hakim Konstitusi yang mendesak agar dilakukan proses penyelidikan etik terhadap hakim-hakim yang memutuskan perkara tersebut, hasil sidang etik tidak bisa menjegal langkah Gibran maju di Pilpres 2024.
“Pelanggaran etik yang terbukti tidak bisa membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah dijatuhkan. Tapi bukan tidak mungkin, hasil putusan pelanggaran etik menjadi alasan untuk menguji kembali, bahwa ini ada kondisi baru yang bisa dibuktikan bahwa proses penafsiran yang lalu cacat,” tutup Feri Amsari