Bagikan:

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka korupsi di Kementerian Pertanian. Penetapan politisi Partai NasDem itu sebagai tersangka kala Indonesia memasuki tahun politik jelang pemilu legislatif dan presiden 2024 sontak memantik perdebatan.

Banyak pihak menduga bahwa penetapan SYL sebagai tersangka merupakan politisasi kasus hukum sekaligus langkah untuk membungkam lawan politik dengan menggunakan tangan KPK. Tapi tak sedikit yang mendukung langkah KPK sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi.

Sejatinya, penyelidikan maupun penyidikan kasus korupsi yang dilakukan KPK saat masuk tahun politik bukan hal baru. Sebelum kasus SYL, KPK juga menyelidiki dugaan korupsi yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja pada tahun 2012.

Penyelidikan kasus itu juga memicu dugaan politisasi kasus hukum mengingat Menteri Tenaga Kerja saat itu adalah Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB yang belakangan menjadi bakal calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan dari Koalisi Perubahan yang diasosiasikan sebagai oposan dari pemerintah.

KPK sendiri menepis anggapan politisasi di kasus dugaan korupsi di Kemenaker. Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengungkapkan bahwa pengusutan kasus korupsi sistem proteksi TKI di Kemenaker berawal dari laporan masyarakat. Laporan itu diverifikasi dan ditelaah hingga akhirnya diputuskan untuk dilakukan penyelidikan sejak tahun 2022.

Penyelidikan kasus ini terus bergulir hingga KPK menaikan dugaan korupsi itu ke tingkat penyidikan Juli 2023. Surat perintah penyidikan (Sprindik) kasus tersebut kemudian keluar sebulan berselang di Agustus 2023.

Ali menegaskan, proses penerimaan laporan masyarakat hingga naik ke tingkat penyidikan ini telah terjadi sebelum hiruk pikuk politik saat ini, termasuk deklarasi Muhaimin Iskandar sebagai bakal cawapres Koalisi Perubahan.

“Sehingga jelas sama sekali tidak ada urusan dengan proses politik saat ini,” ujar Ali, Sabtu 9 September lalu.

Muhaimin Iskandar sendiri diketahui telah diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut pada Kamis (7/7). Sebelumnya, surat pemanggilan telah dilayangkan kepada Ketum PKB itu pada Kamis (31/8), atau dua hari sebelum Cak Imin melakukan deklarasi sebagai bakal cawapres Anies Baswedan pada Sabtu (2/9) di Surabaya, Jawa Timur.

Ali menyatakan, pemanggilan kepada Cak Imin tidak dilakukan secara mendadak. Sebab, pemanggilan hingga pemeriksaan tersebut dilakukan dengan dasar hukum penyidikan tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam korupsi di Kemnaker.

“Kami memanggil dan memeriksa Muhaimin Iskandar sebagai saksi yang tentu sudah pasti ada dasar hukum pemanggilannya yaitu karena kami sedang selesaikan proses penyidikan tiga orang tersangka yang telah dimulai sejak Juli 2023 atas dugaan korupsi sistem proteksi TKI. Yang artinya sudah sangat jelas itu jauh dari urusan pencapresan,” terangnya.

Sama halnya dengan kasus di Kemenaker, kasus di Kementan yang menyeret SYL pun berawal dari laporan masyarakat pada pertengahan 2020. KPK kemudian mulai melakukan penyelidikan sejak 16 Januari 2023. Setelah melakukan gelar perkara, pimpinan KPK pun menyetujui kasus ini naik ke tahap penyidikan pada Juni lalu.

Lazimnya sebuah kasus yang naik ke tingkat penyidikan, KPK pun ditengarai sudah mengantongi nama-nama tersangka kasus tersebut. Meski tidak membuka ke publik, penyidik KPK pada 19 Juni memanggil SYL untuk dimintai keterangan terkait kasus di Kementan.

Dugaan SYL menjadi tersangka menguat usai KPK menggeledah rumah SYL pada 28 September. Saat itu, mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu diketahui tidak berada di Indonesia karena tengah melakukan serangkaian kunjungan kerja di Italia dan Spanyol.

Dugaan itu pun terbukti, setelah KPK memanggil SYL untuk diperiksa sebagai tersangka pada 1 Oktober, atau setelah kembali ke Indonesia dari Spanyol. “Kegaduhan” sempat muncul usai SYL disebut hilang kontak karena tak kunjung tiba di tanah air sesuai jadwal. SYL baru tiba di Indonesia pada Rabu, 4 Oktober malam.

Penyidik KPK pun melakukan penjadwalan ulang SYL pada 11 Oktober. Lagi-lagi SYL mangkir dan meminta dijadwalkan ulang karena harus menjenguk ibunya di Makasar. Kamis, 12 Oktober malam, KPK menangkap SYL meski kuasa hukum yang bersangkutan menegaskan bahwa SYL akan memenuhi panggilan KPK pada keesokan harinya.

Keriuhan kasus korupsi di Kementan yang melibatkan SYL membuat isu politisasi oleh KPK mengemuka. Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh berharap hal itu tidak benar sambil menegaskan bahwa tidak ada penegakan hukum yang dilakukan atas dasar kepentingan politik.

“Nah masalah politisasi hukum. Kita berupaya jangan sempat itu terjadi. Kan itu semangat kita. Kalau itu sudah upayakan tapi tetap terjadi, itu di luar pada kemampuan kita,” tutur Paloh.

Bendahara Partai Nasdem, Ahmad Sahroni pun menilai ada tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan KPK dalam penangkapan SYL. Bahkan, dia menyebut penangkapan tersebut tidak memiliki landasan hukum.

“Ini ada kesewenang-wenangan. Ini adalah perlakuan yang boleh dibilang kesewenang-wenangan, tidak berlandaskan hukum acara sebagaimana mestinya. Kenapa melakukan hal itu kepada seorang yang bukan menteri lagi? Mau menghilangkan apa? Dia orang bukan menteri kok, kalau dia statusnya menteri melalui mekanisme hukum di jalani prosesnya, ada jemput paksa boleh. Kalo enggak, ya jangan,” tukasnya.

Kegaduhan penanganan kasus SYL mendapat sorotan dari Fahri Hamzah. Mantan Wakil Ketua DPR ini kembali teringat dengan cara penanganan kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik oleh KPK era sebelum Firli Bahuri.

Dia mencontohkan kasus yang melibatkan Anas Urbaningrum yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, dan Luthfi Hasan Ishaaq yang kala itu menjadi Presiden PKS. “Istilah yang saya gunakan itu festivalisasi politik oleh KPK karena melibatkan elite parpol dan menjadi sorotan publik,” ujarnya, Sabtu 14 Oktober.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini mengungkapkan, sebenarnya kegaduhan semacam itu tidak perlu terjadi di KPK saat ini. Pasalnya, KPK era Firli merupakan produk dari revisi UU KPK yang bertujuan memperbaiki sistem dan kekurangan yang ada di KPK sebelumnya.

“Saya kira hal ini karena Firli tidak membuka kasus yang ada di era sebelumnya. Saya masih pegang dokumen Angket DPR waktu itu dan banyak kasus yang terjadi di KPK. Tapi itu ditutupi semua. Kalau Firli mau membuka akan banyak kebusukan yang terungkap terjadi di KPK,” tukas Fahri.

Pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita juga menegaskan bahwa hukum dan kekuasaan tidak bisa dilepaskan dalam teori politik. “Tidak ada hukum yang steril dari politik. Itu sudah diajarkan pada saat belajar filsafat hukum. Secara empiris, tidak ada satupun penegakan hukum yang bisa lepas dari pengaruh kekuasaan,” katanya, Sabtu 14 Oktober.

“Perseteruan” KPK dan Partai NasDem semakin memanas setelah Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan ada dugaan aliran dana hasil korupsi SYL yang mengalir ke partai. Meski demikian, KPK belum merinci jumlah uang yang mengalir ke partai karena masih terus didalami penyidik.

“Ditemukan juga aliran penggunaan uang sebagaimana perintah SYL yang ditujukan untuk kepentingan Partai NasDem dengan nilai miliaran rupiah. KPK akan terus mendalami,” tuturnya.

Tudingan ini langsung dibantah Bendahara Umum Partai NasDem, Ahmad Sahroni. Dia menegaskan tidak ada uang diduga hasil korupsi SYL yang mengalir ke partai. Sahroni mengklaim telah mengecek rekening resmi partai.

“Saya sebagai Bendahara Umum DPP menyatakan membantah, bahwa tidak ada aliran terkait yang disampaikan oleh Pak Alex Marwata. Saya selaku Bendahara Umum tadi malam sudah mengecek langsung ke rekening partai, resmi rekening partai,” tukasnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI ini pun menyayangkan pernyataan Alexander Marwata. Menurutnya, pernyataan Alexander Marwata soal ada dana korupsi SYL mengalir ke partai, dan langsung mengarah pada Partai NasDem, hanyalah asumsi.

“Bahwa kami tidak pernah menerima aliran dana dari yang Pak Alex sampaikan. Yang kita sayangkan, kenapa mengasumsikan langsung bahwa aliran tersebut ke Partai NasDem,” kata Sahroni.

Namun, Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri menegaskan, pihaknya telah menjerat SYL dengan pasal tindak pidana pencucian uang. Artinya, penyidik KPK akan terus mendalami aliran uang korupsi SYL, termasuk dugaan yang mengalir ke NasDem.

Menurutnya, penyidikan korupsi tidak berhenti meski SYL telah ditahan. Dia menjelaskan tiap bukti kasus korupsi SYL beserta aliran uangnya nanti akan dibuka di proses persidangan. “Namun pada proses penyidikan tidak juga harus kami buka semuanya karena hasil penyidikan kami akan pertanggungjawabkan nanti pada saatnya di hadapan majelis hakim,” tutur Ali.

Pernyataan Alexander Marwata soal dugaan adanya aliran dana korupsi SYL ke Partai NasDem sebagai bagian dari TPPU memunculkan spekulasi pembubaran parpol pimpinan Surya Paloh. Sebab, TPPU merupakan salah satu alasan yang bisa digunakan untuk membubarkan sebuah parpol sesuai UUD 1945, UU Parpol, UU Pemilu, dan diatur lebih teknis oleh Peraturan MK (PMK) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.

Pakar Hukum Pencucian Uang Universitas Trisaksi, Yenti Garnasih menjelaskan, meskipun banyak politisi dipenjara karena kasus korupsi, namun sampai saat ini belum ada catatan sejarah partai politik dibubarkan karena kasus korupsi. Semua proses hukum berhenti di pertanggungjawaban pribadi terdakwa. Sedangkan partai politik selalu lepas tangan.

“Entah belum ada bukti, tidak ada bukti atau tidak mau mencari. Sebelumnya, PKS di kasus impor daging, Demokrat di kasus Hambalang dan Golkar di kasus e-KTP. Tapi memang tampaknya sejauh ini dianggap yang main jahat oknum. Nah seharusnya penegak hukum yang kejar. UU menyebutkan partai yang terima hasil korupsi tetap diproses,” terangnya, Senin 16 Oktober.

Menurut dia, penegak hukum perlu berfikir konstruksi yang utuh dari kasus korupsi dan kemungkinan pencucian uang melibatkan partai politik sebagai wadahnya. Termasuk menelusuri bukti-bukti terkait tindak pidana yang dilakukan politisi dan kaitannya dengan aliran dana ke partai. Bisa saja aliran dana korupsi itu berkedok sumbangan dari donatur atau kader partai. Jika pada proses hukumnya sang donatur atau kader partai terbukti melakukan kejahatan korupsi, maka penegak hukum bisa mengejar hingga ke hulu.

Dia menegaskan, pembubaran partai yang terlibat korupsi bisa diambil dengan pendekatan UU Pencucian Uang jika proses pembubaran parpol melalui Mahkamah Konstitusi sulit dilakukan. Yenti menilai, hakim bisa memutuskan pembubaran parpol yang terlibat korupsi. “Kalau saya dilihat dari pidana. Hakim bisa jatuhkan pidana pembubaran partai. Sarana undang-undang dan mekanisme sudah ada. Tinggal kemauan penegak hukum,” imbuhnya.

Sementara pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menyatakan dilihat dari perspektif hukum pidana terkait kejahatan korporasi, maka jika korporasi tersebut terbukti melakukan kejahatan, yang dijatuhi pidana adalah pimpinannya. Korporasinya sendiri tidak otomatis bubar. Ini juga berlaku untuk parpol.

“Begitu juga halnya jika parpol terbukti korupsi, maka pimpinannya yang dijatuhi hukuman. Sementara partainya sendiri tidak otomatis bubar, karena yang berwenang memutuskan parpol bubar atau tidak, bukanlah pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung dalam perkara pidana, tetapi Mahkamah Konstitusi dalam perkara tersendiri yakni perkara pembubaran partai politik,” tuturnya.

Dia menjelaskan, pembubaran parpol hanya bisa dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi. Pasal 68 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi memberi amanat pada lembaga ini untuk memutus perkara pembubaran parpol. Syaratnya, jika asas dan ideologi serta kegiatan-kegiatan parpol itu bertentangan dengan UUD 1945. MK bisa menyidangkan perkara pembubaran parpol jika ada permohonan yang diajukan pemerintah karena memiliki kedudukan hukum atau legal standing atas itu.

Tapi, mungkinkah Presiden Joko Widodo akan mengambil inisiatif mengajukan permohonan pembubaran parpol? Apalagi jika menyangkut parpolnya sendiri atau parpol pendukungnya. Yusril menilai, secara politik mustahil ada presiden mengajukan perkara pembubaran parpol pendukungnya sendiri ke MK.

Presiden hanya mungkin melakukan itu jika ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan parpol tersebut secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan korupsi dan pimpinannya dijatuhi hukuman. Atau, jika ada desakan publik dan desakan politik yang begitu besar agar presiden mengambil langkah mengajukan perkara pembubaran partai yang telah terbukti melakukan korupsi ke Mahkamah Konstitusi.

Tanggapan soal spekulasi pembubaran Partai NasDem juga dikemukakan Menko Polhukam, Mahfud Md. Menurut dia, hampir tidak mungkin NasDem dibubarkan untuk saat-saat ini. “Jadi memang KPK dalam ekspose-nya menyebut ada aliran dana ke NasDem sebagai Partai. Lalu ada spekulasi bahwa Nasdem bisa dibubarkan karena pelanggaran undang-undang kepartaian,” ujarnya, Minggu 15 Oktober.

Mantan Ketua MK ini meyakini hampir tak mungkin partai NasDem dibubarkan. Karena itu, parpol pimpinan Surya Paloh itu akan tetap aman mengikuti Pemilu 2024 hingga tuntas.

“Saya katakan itu hampir tidak mungkin NasDem itu dibubarkan saat-saat ini. Saya ingin memastikan berdasar prosedur hukum saja. NasDem itu akan tetap aman ikut pemilu sampai pemilu ini tuntas. Karena seumpama pun betul dana itu mengalir ke parpol, itu harus dibuktikan oleh peradilan pidana dulu, pada kasus yang sekarang berlangsung, kasus Syahrul Yasin Limpo,” jelas Mahfud.

Dia menerangkan aliran dana ke sebuah parpol harus dibuktikan. Nantinya, ada peradilan terhadap tindak pidana korporasi bila terbukti ada aliran dana ke parpol.

“Kalau nanti dalam kasus Syahrul Yasin Limpo itu memang disebut ada dana ke NasDem, nanti akan ada peradilan terhadap tindak pidana korporasi. Peradilan tersendiri sesudah terhadap SYL dan kawan-kawannya yang tiga orang itu selesai,” tutup Mahfud MD.