Mahkamah Konstitusi Tolak Legalisasi Ganja Medis: Bukan Berarti Perjuangan Santi Warastuti Finis
Santi Warastuti saat melakukan aksi demonstrasi menuntut legalisasi ganja untuk keperluan medis di Bundaran HI, Jakarta Pusat pada 26 Juni 2022. (Dok. Pribadi)

Bagikan:

JAKARTA - Tolong anakku butuh ganja medis. Isi tulisan poster yang dibawa seorang Santi Warastuti di area Car Free Day Jalan Sudirman Thamrin pada 26 Juni lalu menyita perhatian banyak orang.

Demi menyembuhkan anaknya yang mengidap cerebral palsy, dia berjalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia menuju kantor Mahkamah Konstitusi di Jalan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.

Santi tidak peduli tanggapan orang. Dia menyadari ganja ilegal dan memiliki stigma negatif di masyarakat Indonesia. “Namun, seandainya mereka tahu apa yang saya rasakan, mereka mungkin bisa mengerti. Jika ingin menghina saya, pakailah sepatu saya dan rasakan jalan saya,” ucapnya kepada VOI, Rabu (20/7).

Santi berjalan bersama suami dan anaknya, Pika Sasikirana yang duduk di stroller. Selain poster, dia juga membawa sepucuk surat yang rencananya akan langsung diserahkan ke MK. Dengan harapan, MK bisa mengabulkan legalitas ganja untuk medis.

“Saya mau titip ke petugas keamanan,” kata Santi. Sayangnya, petugas keamanan MK menolak surat tersebut dengan alasan prosedural.

Ketika itu, belum ada jawaban MK terkait surat gugatan uji materi Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang sudah dikirimnya sejak November 2020.

Pika, kata Santi, diketahui mengidap cerebral palsy sejak 2015. Beragam cara pengobatan sudah dilakukan. Saat ini saja, Phika masih rutin mengonsumsi obat medis untuk kejang-kejang, rutin akupuntur, dan rutin mengonsumsi suplemen. Namun, selama tujuh tahun, hasilnya masih jauh dari harapan. “Belum lagi efek samping dari penggunaan obat yang kadang harus dirasakan Pika.”

Minyak ganja menjadi obat mujarab bagi pengidap cerebral palsy diketahui dari atasannya saat dia masih bekerja di Bali, seorang warga negara asing. “Dia fotoin produk minyak ganja ke saya saat di luar negeri. Dia bilang minyak ganja selalu digunakan sebagai terapi pengobatan cerebral palsy di beberapa negara.”

Suami Santi Warastuti dan putri mereka, Pika, yang mengidap cerebral palsy sehingga memerlukan pengobatan lewat terapi ganja secara medis. (Dok. Pribadi)

Lalu, ketika berada di Yogyakarta, Santi berkenalan dengan Dwi Pertiwi, seorang ibu yang punya ujian sama dengannya. Anak Dwi juga pengidap cerebral palsy. “Dia cerita pernah membawa anaknya berobat ke Australia, di sana pakai terapi ganja medis, hasilnya baik,” tuturnya.

Bersama satu rekan lainnya, Santi dan Dwi mengajukan gugatan ke MK terkait legalisasi ganja medis pada 2019. Mereka meminta MK mencabut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.

Sebab, ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak atas kesehatan dan Pasal 28C ayat (1) tentang hak untuk memperoleh manfaat dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Harapannya, para ibu yang mengalami hal sama dengan kami bisa lebih survive dan cerebral palsy bisa diatasi dengan baik,” ucap Santi.

Ganja Masih Barang Haram di Indonesia

Namun sayang, ganja masih termasuk barang ‘haram’ di Indonesia. Padahal, di sejumlah negara seperti Jerman, Kanada, Italia, dan Thailand, ganja sudah bisa digunakan untuk keperluan medis.

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada 20 Juli 2022 yang menolak permohonan uji materil pasal pelarangan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.

“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap ketua MK Anwar Usman dalam persidangan, Rabu (20/7).

MK menilai materi yang diuji adalah kewenangan DPR dan Pemerintah. MK meminta pemerintah segera melakukan riset terhadap Narkotika Golongan I dengan kepentingan praktis pelayanan kesehatan.

Hasil dari pengkajian dan penelitian ilmiah tersebut harus dijadikan sebagai bahan oleh pembuat kebijakan mengubah peraturan terkait pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan.

Sidang permohonan perkara ini telah digelar sebanyak sepuluh kali sejak permohonan dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi pada 19 November 2020. Para pemohon perorangan yang mengajukan permohonan antara lain Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Muharyanti yang masing-masing memiliki anak dengan cerebral palsy dan membutuhkan pengobatan dengan Narkotika Golongan I.

Tanaman ganja. (Pixabay)

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, dalam rilisnya menjabarkan poin-poin yang menjadi pertimbangan MK menolak gugatan. Menurut Maruf, Advokat LBH Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, MK berpandangan meski berbagai negara telah mengatur soal penggunaan beberapa jenis Narkotika Golongan I untuk pengobatan, namun bukan berarti negara-negara lain yang belum mengatur seperti Indonesia juga tidak mengoptimalkan penggunaan narkotika untuk pelayanan kesehatan.

Alasan lain MK, jenis narkotika yang mungkin dapat bermanfaat untuk pelayanan kesehatan tidak berbanding lurus dengan besar akibat yang ditimbulkan dari tingkat ketergantungannya yang tinggi.

MK juga menyatakan fakta berbagai negara yang sudah mengatur hal tersebut, tidak dapat dijadikan parameter untuk diterapkan semua negara karena ada karakter yang berbeda, jenis bahan narkotika, struktur budaya hukum, sarana prasarana yang dibutuhkan.

“Ketentuan penggolongan dan pengaturan sebagaimana dalam pasal aquo termasuk dalam open legal policy atau kewenangan dari pembuat undang-undang. Dengan demikian reformasi kebijakan narkotika sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah dan DPR,” kata Maruf, Rabu (20/7).

Berharap dari Pemerintah dan DPR

Atas dasar itu, lanjut Maruf, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan meminta Pemerintah dan DPR mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk kepentingan kesehatan, sehingga Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 UU Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika.

Dengan revisi ini, maka pemerintah maupun swasta sesuai dengan amanat MK akan memiliki peluang besar menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika, dan teknis pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan. “Bahkan, sampai dengan membangun sistem yang kuat terkait dengan hal tersebut,” katanya.

Maruf juga meminta pemerintah segera melakukan penelitian dan pengkajian ilmiah terhadap jenis-jenis narkotika golongan I yang dapat dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan. Penelitian ini juga penting untuk menghasilkan skema yang jelas dan komprehensif tentang pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

Santi Warastuti bersama Ketua Pembina Yayasan Sativa Nusantara Prof Musri Musman (tengah) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). (Antara/Galih Pradipta)

“Sebagai catatan, MK menekankan kata “segera” pada putusannya, sehingga hal ini harus dimaknai tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotika untuk pelayanan kesehatan,” jelas Maruf.

Pemerintah dapat merujuk penelitian-penelitian lain di luar negeri maupun yang diterbitkan badan PBB seperti kajian pada 2019 dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang menjadi dasar rekomendasi perubahan golongan dan pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di the Commission on Narcotics Drugs (CND).

Tolong Beri Solusi

Mendengar putusan MK, Santi tidak terlalu terkejut. Dia tetap bersyukur, setidaknya sudah ada kepastian yang diberikan, sehingga dia bisa menyusun langkah baru kedepannya.

Kendati begitu, Santi berharap selain mempercepat riset ada solusi dari pemerintah untuk membantu anak-anak pengidap cerebral palsy. “Penelitian medis terkait ganja untuk penggunaan medis atau sebagai obat membutuhkan waktu, tetapi kita orangtua anak-anak berkebutuhan khusus ini juga berpacu dengan waktu. Sambil menunggu, pemerintah bisa kasih solusi ke kita, seperti apa baiknya. Jadi sambil menunggu riset, ada solusi yang bisa kita lakukan,” tuturnya.

Dwi Pertiwi pun berharap pemerintah bisa mencari jalan keluar. Memperhatikan anak-anak berkebutuhan khusus terutama yang memiliki masalah kejang.

“Obat-obatan medis yang ada itu tidak membantu. Itu yang kami rasakan. Pengalaman saya, saat Musa (anak Dwi) masih hidup, terapi minyak ganja justru yang membuat dia lebih segar. Kalau ganja belum bisa digunakan apa solusinya? Bagaimana membuat anak-anak kita nyaman,” tuturnya.

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan pun menyerukan agar pemerintah bisa memberikan solusi yang tepat untuk para pengidap cerebral palsy. Di Indonesia, dari setiap 1.000 bayi yang dilahirkan, 9 di antaranya berpeluang mengidap cerebral palsy.

“Sehingga, harus ada solusi lain untuk anak-anak pengidap cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja. Pemerintah harus membantu memikirkan pembiayaan pengobatan di Indonesia yang tidak ‘tercover’ BPJS dan peralatan penunjang lain yang berbiaya tinggi,” tandasnya.