JAKARTA - Dinasti politik merupakan hal jamak dalam politik di dunia. Mulai Amerika Serikat, Kanada, India, Pakistan, Filipina, hingga Indonesia semua ada. Dinasti politik dapat dipahami sebagai pelanggengan kekuasaan yang dilakukan turun temurun dalam satu keluarga, baik karena ikatan hubungan darah maupun perkawinan.
Lazimnya, dinasti politik dijumpai dalam sistem pemerintahan berbentuk monarki. Sejak abad IV Masehi dinasti politik mulai dikenal dalam pemerintahan nonmonarki, yaitu di Republik Venezia yang sekarang menjadi bagian dari Italia.
Di Indonesia, isu dinasti politik semakin mencuat sejak Gerakan Reformasi digulirkan pada 1998. Salah satu konsekuensi dari reformasi adalah perubahan yang signifikan dalam sistem pemerintahan daerah. Perubahan tersebut berupa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Pada era Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Buah reformasi salah satunya menghasilkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini sudah beberapa kali diubah, namun tetap saja dengan tujuan sama yaitu sistem desentralisasi yang ditekankan pada model demokrasi lokal.
Implementasi dari kebijakan desentralisasi adalah Pilkada langsung. Secara teori desentralisasi memberikan banyak nilai positif, antara lain pejabat dianggap akan lebih peka terdadap masalah di daerah; memotong kerumitan alur birokrasi dari pusat; inovasi administrasi pemerintah daerah yang diharapkan menjadi lebih fleksibel dan kreatif; dan banyak lagi.
“Desentralisasi demokrasi adalah cara yang lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan lokal daripada rancangan pemerintah pusat,” tulis Brian Clive Smith, Profesor Emeritus Ilmu Politik dari Universitas Dundee, Skotlandia dalam buku Decentralisation: The Territorial Dimension of The State.
Praktik Bertolak Belakang
Praktik dari desentralisasi dan Pilkada langsung ternyata bertolak belakang dengan teori, yang bertujuan mulia. Pilkada langsung secara teori berfungsi mendekatkan kedaulatan di tangan rakyat, perwujudan demokrasi yang lebih nyata, serta akuntabilitas yang transparan.
Dalam praktik, seringkali Pilkada langsung ini justru melahirkan dinasti politik. Tujuan yang diinginkan hanya satu, melanggengkan kekuasaan di tangan pihak yang itu-itu saja. Dinasti politik juga menyebabkan kontestasi Pilkada menjadi tidak adil.
Calon kepala daerah yang berasal dari dinasti politik memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan para kompetitornya. Baik berupa keunggulan sumber daya, popularitas, hingga jejaring yang semuanya diberdayakan untuk menggiring masyarakat memilih seorang calon dari dinasti politik.
Seperti teori Sir John Dalberg-Acton, yang terkenal dengan pernyataan: “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup”. Begitulah yang terjadi pada dinasti politik. Kebutuhan sumber daya yang sangat besar untuk melanggengkan kekuasaan, menyebabkan pemimpin daerah yang berasal dari dinasti politik akan melakukan segala cara termasuk korupsi.
Kombinasi antara dorongan kebutuhan akan sumber daya yang sangat besar, niat jahat dan culas, serta mentalitas korup menjadi pemicu lonjakan korupsi di daerah. Kasus kekinian tentu saja yang menimpa Bupati Bogor, Ade Yasin.
Ade dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya di Cibinong, Kabupaten Bogor pada 27 April lalu. Dia dituduh melakukan suap terhadap petugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) demi mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan Pemkab Bogor yang sebenarnya bermasalah.
Ade merupakan adik mantan Bupati Bogor 2008-2013 dan 2013-2014, Rachmat Yasin yang juga terbelit korupsi.
Kasus Keempat Sepanjang 2022
Keterlibatan Ade Yasin dalam kasus korupsi Pemkab Bogor, menjadikannya kepala daerah keempat yang dicokok KPK sepanjang 2022. Pada tiga pekan pertama Januari lalu, tiga kepala daerah mengalami hal serupa dengan Ade.
Ketiga kepala daerah yang tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK sebelum Ade adalah Wali Kota Bekasi, Rachmat Effendi; Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Abdul Gafur Mas’ud; dan Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin-angin.
Rachmat ditangkap pada 6 Januari dengan tuduhan menerima suap dari ganti rugi tanah sejumlah proyek Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi. Pria yang akrab dipanggil Pepen ini juga dituduh menerima suap dari beberapa pegawai Pemkot Bekasi, sebagai kompensasi jabatan yang mereka dapatkan. Dalam kasus Rachmat, KPK menyita barang bukti uang tunai senilai Rp5,7 miliar.
Abdul Gafur ditangkap di Jakarta pada 12 Januari. Dia dikenai tuduhan menerima suap yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, serta perizinan beberapa proyek di Kabupaten Penajam Paser Utara. Barang bukti yang didapat berupa uang tunai senilai Rp 1 miliar dan rekening bank Rp447 juta.
Terbit ditangkap di Langkat pada 18 Januari. Dia dikenai tuduhan menerima suap proyek pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Langkat. Saat penangkapan Terbit, disita pula barang bukti uang tunai senilai Rp786 juta.
Begitulah kenyataan yang dihadapi Indonesia seusai Gerakan Reformasi 1998. Gerakan yang bertujuan mulia ini pada praktiknya justru melahirkan anak haram bernama dinasti politik dan korupsi.