JAKARTA – Pelaksanaan program Bantuan Tunai Langsung atau BLT terus menerus menuai kritik, namun tetap saja berjalan. Termasuk BLT minyak goreng yang dilakukan Pemerintah Indonesia di bawah komando Presiden Jokowi, yang kick off-nya digelar di Pasar Angso Duo, Jambi pada 7 April 2022.
Meskipun dinilai tidak signifikan dalam pemberantasan kemiskinan, BLT tetap menjadi andalan setiap pemegang kekuasan untuk mencitrakan kepedulian terhadap masyarakat yang sedang kesusahan.
"Pagi hari ini saya datang ke Pasar Angso Duo di Kota Jambi, Provinsi Jambi, dalam rangka memberikan BLT Minyak Goreng sebesar Rp300.000 yang kita harapkan ini bisa meringankan, menyubsidi masyarakat utamanya para pedagang kaki lima yang berjualan gorengan," ucap Jokowi dalam siaran pers Biro Pers, dan Media Sekretariat Presiden.
Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp6,15 triliun untuk BLT minyak goreng. Jumlah tersebut akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga dan 2,5 juta PKL yang berjualan makanan gorengan. BTL untuk tiga bulan: April, Mei, Juni sebesar Rp300 ribu diharapkan Jokowi sudah beres sebelum Lebaran 2022 datang.
Seperti biasa, kritik pun bermunculan mengikuti penerapan BLT minyak goreng. Mulai yang mengatakan bahwa BLT ibarat paracetamol, tidak mendidik, hingga menyinggung soal celah korupsi.
“Pemberian BLT minyak goreng bukan berarti masalah minyak goreng yang naik bisa teratasi. Ibarat paracetamol ini cuma menurunkan demam, tapi penyebab utama naiknya harga minyak goreng belum ada solusinya,” kata Bhima Yushistira Adhinegara, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Minggu 4 April.
Mantan Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Pambagio juga menambahkan kritik untuk kebijakan BLT minyak goreng. Menurutnya, BLT hanya cerminan kemalasan pemerintah, menjadi beban negara, dan celah melakukan korupsi.
"Pemerintah seharusnya tidak memberikan BLT. Itu sebuah kebijakan malas saja dari pemerintah, karena tidak bisa memikirkan kebijakan lainnya. BLT itu beban buat negara. BLT juga sumber korupsi. Sudah berpuluh tahun kita belajar ini, tapi tidak pernah kapok," kata Agus pada Minggu 3 April.
Program Laku Keras
BLT adalah kebijakan yang meniru program Bolsa Familia (Tunjangan Keluarga) di Brasil. Program ini digagas oleh Presiden Luiz Inacio Lula da Silva saat berkuasa pada 2003 hingga 2011.
Tetapi karena mudah dan instan, Bolsa Familia lantas diteruskan oleh Presiden Brasil setelah Lula da Silva, yaitu Dilma Rousseff (2011-2016), Michel Temer (2016-2019), hingga Jair Bolsonaro yang saat ini memimpin Negeri Samba.
Bolsonaro memodifikasi Bolsa Familia dengan menambahkan jumlah uang yang dikucurkan ke tiap keluarga, dan mengganti namanya menjadi Auxilio Brasil. Program ini diluncurkan pada Oktober 2021.
Setelah Brasil menjadi pionir, program sejenis BLT ini lantas menjadi sangat populer. Bank Dunia menyambutnya, dan menyediakan dana untuk diutang dalam program Project Family Grant pada 2005.
Pemerintahan negara-negara berkembang juga beramai-ramai menirunya. Meksiko punya program Oportunidades, Kolombia dengan Familias en Accion, Chile dengan Chile Solidario dan banyak lagi. Di Amerika Selatan, program sejenis BLT sudah dilaksanakan di 18 negara dan bermanfaat bagi 25 juta keluarga, yang setara dengan 113 juta individu.
Di Asia Tenggara, selain Indonesia, Filipina juga menerapkan BLT untuk memerangi kemiskinan. Di Filipina, BLT dinamai Pantawid Pamilya Pilipino Program (4Ps). Program ini dimulai pada 2007, dan masih digelar hingga sekarang.
Malaysia, Kamboja, Bangladesh, dan India juga menjadi bagian dari negara-negara di Asia yang mempraktikkan BLT, selain Filipina dan Indonesia. Bahkan negara adi daya Amerika Serikat pun pernah mempraktikkan BLT, dengan nama Opportunity NYC (ONYC). Program ini dihentikan pada 31 Agustus 2010, setelah dijalankan selama 2007-2010 oleh Wali Kota New York, Michael Bloomberg.
Salah Sasaran dan Utang
Kekhawatiran bahwa BLT akan salah sasaran memang terjadi. Ketika pertama kali diterapkan pada 2003, Bolsa Familia melenceng jauh dari sasaran. Sebanyak 49 persen penerima bantuan tenyata bukan kategori keluarga miskin. Di Meksiko malah lebih kacau lagi, karena 70 persen penerima bantuan program Oportinudades justru bukan keluarga miskin.
Ketika BLT dipratikkan di Indonesia pada masa Pemerintahan SBY, salah sasaran juga terjadi. Salah satu kasus di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, Riau pada 2013 misalnya. Tingkat salah sasaran pemberian BLT mencapai 70 persen. Angka tersebut berdasarkan penelitian di Universitas Riau.
BLT di Indonesia juga dikait-kaitkan dengan sumber dana yang dipakai. Ketua Badan Pemerika Keuangan (BPK) 2004-2009, Anwar Nasution, pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial soal sumber dana BLT pada masa SBY.
“Langsung atau tidak langsung memang benar BLT adalah hutang. Hanya saja yang jadi pokoknya sekarang bukan asalnya melainkan pemanfaatannya,” ujar Anwar pada 2009.
Pemerintah SBY melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah pernyataan Anwar tersebut.
"Saya tegaskan bahwa dana BLT bukanlah berasal dari utang, tapi dari kompensasi kenaikan dari harga BBM," tegas Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Ditjen Pajak pada 14 Juni 2009.
Pendanaan BLT minyak goreng disebutkan berasal dari anggaran Bansos dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dampak COVID-19. Belum ada penyataan yang menyebutkan bahwa dana Bansos COVID-19 yang digunakan untuk BLT minyak goreng berasal dari utang. Kemungkinan tersebut ada, karena Bank Dunia terus menggenjot pinjaman Project Family Grant, yang didukung penuh oleh Asian Development Bank (ADB) dan Jepang.
Meskipun banyak kritik, ada juga pendukung BLT minyak goreng. Salah satunya adalah mantan Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II 2013-2014, Chatib Basri.
BACA JUGA:
"Saya pikir langkah pemerintah sudah benar dengan membiarkan harganya mengikuti pasar kemudian memberikan BLT, karena beban dari BLT lebih kecil dibandingkan jika memberi subsidi ke seluruh barang," kata Chatib dalam diskusi Indonesia Macroeconomic Updates 2022 di Jakarta, Senin 4 April.
Pelaksanaan BLT di seluruh penjuru dunia selalu mengundang kontroversi, tetapi program ini tetap digemari hingga kini. Bahkan Presiden Jokowi yang pernah mengkritisi BLT yang dijalankan SBY, kini malah ikut mengadopsi.