JAKARTA – “Salah satu tumbuhan yang ajaib adalah pohon ganja. Manfaat besar yang dianugerahkan Tuhan melalui tumbuhan ini seolah sirna begitu saja ketika segelintir manusia berusaha menafikannya dengan menggolongkan tumbuhan ini sebagai narkotika, atau bahkan lebih jauh lagi dengan memberi predikat ”barang haram”. Persepsi negatif yang sudah tertanam demikian kuatnya pada ma-syarakat, hendaknya perlu kita luruskan bersama.”
Itu adalah kata sambutan yang dituliskan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dalam buku Hikayat Pohon Ganja: 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia terbitan Gramedia Pustaka Utama pada 2011. Cendekiawan Muslim yang pernah menjadi Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006-2010 dan 2010-2015 dalam kata pengantarnya tersebut menambahkan, bahwa tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia.
“Manusia karena tidak mau mengerti, atau berlaku sombong sehingga tidak mampu melihat dan mengerti manfaat ciptaan Tuhan tersebut untuk kebaikan manusia sendiri. Salah satunya berkaitan dengan tanaman ganja,” tulis Komaruddin.
Ganja atau yang punya nama ilmiah Cannabis sativa, dalam beberapa pekan terakhir menjadi topik hangat di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk warganetnya. Penyebabnya tidak lain berkaitan dengan ide untuk melegalkan ganja sebagai salah satu metode pengobatan medis.
Berawal dari aksi demonstratif seorang ibu asal Sleman, Yogyakarta bernama Santi Warastuti di tengah keramaian Car Free Day (CFD) di Bundaran HI, Jakarta Pusat pada Minggu 26 Juni 2022. Santi bersama suaminya mendorong kereta balita yang diduduki putri mereka, Pika yang berusia 14 tahun. Mereka menenteng poster bertuliskan “Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis”.
Pika harus duduk di kereta dorong karena menderita cerebral palsy. Itu adalah kondisi tubuh lemah layu, sehingga tak mampu bergerak. Penyakit ini disebabkan lumpuh otak sebagai pusat syaraf utama, yang menyebabkan gangguan koordinasi otot, gerak, dan koordinasi tubuh. Dalam kondisi ekstrem, penderita cerebral palsy menderita kelumpuhan seperti Pika.
“Pika sudah sakit selama tujuh tahun dan telah mengkonsumsi obat kejang selama tujuh tahun pula. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk saya,” ujar Santi dalam dialog di TVOne pada Kamis malam 30 Juni.
Ide dari Australia
Dalam wawancara tersebut, Santi mengatakan bahwa awal dia mengetahui soal ganja medis adalah saat bekerja pada seorang WNA di Denpasar, Bali. WNA tersebut lantas mengirimkan foto sebuah obat yang digunakan di negaranya untuk pengobatan penderita cerebral palsy seperti Pika.
“Saat berada di luar itu beliau mengirimkan foto kepada saya berupa botol sirup gitu, lalu mengatakan: Santi, ini di negara saya dipakai untuk obat epilepsi. Kamu mau nggak saya bawain?” Santi berkisah tentang tawaran bosnya, yang membuat dia berkenalan dengan ganja medis.
Karana di botol dalam foto tersebut tertulis “ganja”, Santi menolak untuk dibawakan karena dia tahu tanaman itu dilarang di Indonesia.
Pulang ke Yogyakarta, Santi bertemu dengan seorang ibu yang juga mempunyai anak dengan problem cerebral palsy. Ibu yang baru dikenal Santi itu melakukan pengobatan terhadap anaknya dengan terapi ganja medis. Dan tindakan itu dia lakukan di Australia.
“Dari Denpasar, saya pulang ke Yogyakarta. Dan seiring waktu berkenalan dengan Ibu Dwi Pertiwi, ibu dari Musa. Beliau memberikan terapi ganja medis kepada Musa di Australia. Saya lihat perkembangannya sangat signifikan, pola tidurnya bagus dan kejangnya berkurang. Jadi saya juga ingin memberikan kemajuan seperti itu kepada anak saya,” ujar Santi dalam wawancara di TVOne tersebut.
Sebelum melakukan aksi demonstratif dengan mengangkat poster di CFD, Santi sudah melakukan tindakan yang lebih normatif. Dia melayangkan surat gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Gugatan uji materi tersebut dilayangkan pada November 2020 oleh Santi bersama dua orang ibu lain yang mempunyai masalah yang sama dengannya. Ketiga ibu tersebut menggugat penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika yang melarang penggunaan ganja untuk keperluan medis atau pelayanan kesehatan.
Santi dan kedua ibu yang bersamanya merasa dirugikan secara konstitusional, karena mendapatkan halangan untuk mendapatkan pengobatan terhadap anak mereka. Ketiga ibu tersebut ingin agar Mahkamah Konstitusi melegalkan ganja untuk kepentingan pengobatan.
Namun cara yang “sopan” itu diabaikan selama dua tahun. Sehingga Santi harus berteriak agar suaranya didengar, dan itu terbukti berhasil. Santi pun diundang ke DPR RI untuk mengukuti Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III pada 30 Juni lalu, dengan harapan dia memberikan masukan. Dan akhirnya isu soal legalitas ganja untuk keperluan medis di Indonesia pun bergulir, walau pun belum tentu disetujui.