JAKARTA - Platform berbagi video kreatif TikTok, diam-diam telah melampauai YouTube dan Facebook. Aplikasi hiburan yang populer selama pandemi COVID-19 ini berhasil menjadi aplikasi non-game yang paling banyak diunduh di dunia.
Berdasarkan laporan SensorTower, per Juni 2020 TikTok telah diunduh lebih dari 87 juta penggunanya di seluruh dunia. Hasil ini dihitung rata-rata download aplikasi dari AppStore dan Google Play Store.
BACA JUGA:
Penghasilan TikTok pun meroket 8,3 kali lipat dibandingkan Juni 2019. Artinya per Juni 2020 TikTok mencetak pendapatan 95,7 juta dolar AS atau bila dirupiahkan dengan kurs saat ini, jumlah pendapatan TikTok mencapai Rp1,3 triliun.
Dari total jumlah unduhan yang diperoleh TikTok pada bulan Juni, diketahui 18,8 persen pengunduh terbanyak TikTok berasal dari India. Lalu 8,7 persen pengguna dari Amerika Serikat.
Berada di bawah TikTok, platform video konferensi Zoom juga mencatatkan laba pendapatan tertinggi saat pandemi COVID-19. Zoom sendiri berhasil mengumpulkan 94,6 juta unduhan, naik pesat hingga 43 kali lipat dari Juni tahun lalu.
Sementara Facebook harus puas di urutan ke 3, sebagai aplikasi non-game dengan penghasilan tertinggi di bulan Juni. Pendapatan sebesar 73 juta dolar AS atau sekitar Rp1 triliun, dengan jumlah rata-rata aplikasi yang diunduh meningkat 12 persen dari bulan sebelumnya.
Backlash Kepopuleran TikTok
Sebagai aplikasi TikTok masih terus tumbuh dengan cepat meskipun ada kecurigaan dari AS dan beberapa negara lain yang menuding pengambilan data. Kegelisahan akan privasi dan keamanan data ini datang ketika induk perusahaan TikTok, yakni Bytedance berada di China.
Bahkan Sekretaris Negara AS Mike Pompeo mengatakan, bahwa pemerintahnya sedang mempertimbangkan untuk melarang aplikasi media sosial China, termasuk TikTok. Hal ini dikhawatirkan dapat mengancam keamanan nasional, khususnya data pengguna TikTok di AS.
"Orang Amerika hanya boleh menggunakan TikTok jika Anda ingin informasi pribadi Anda berada di tangan Partai Komunis Tiongkok," ungkap Pompeo seperti dikutip dari ABC News, Kamis 9 Juli.
Terdapat alasan bagus untuk khawatir akan model bisnis yang dijalankan oleh TikTok, termasuk platform media sosial lainnya. Di mana TikTok secara langsung mengumpulkan banyak informasi tanpa disadari oleh penggunanya.
Pengumpulan informasi seperti nama, tanggal lahir, email dan nomor telepon, jadi standar verifikasi identitas penggunanya. Termasuk mengumpulkan informasi dari unggahan foto dan konten video yang dibuat oleh pengguna TikTok.
"Seperti aplikasi lain, itu akan memanen suka dan tidak suka Anda, dan setiap memo perilaku pada platform. Itu mengangkat data. Tapi begitu juga Facebook, dan Instagram," ujar dosen Universitas Swinburne, Dr Belinda Barnet.
Tak hanya itu, TikTok juga turut mengumpulkan data melalui survei dengan menyimpulkan detail tambahan tentang penggunanya untuk mempersonalisasi konten dan iklan. Tudingan ini semakin santer terdengar, ketika fitur privasi Apple di iOS 14 menangkap TikTok yang diam-diam membaca clipboard penggunanya.
Tuduhan berbagi informasi dan data pengguna TikTok dengan partai Komunis Tiongkok juga santer dibicarakan. Sekalipun perwakilan TikTok di AS maupun Australia telah menyangkal tuduhan berbagi data dengan pemerintah China.
"Praktik pengumpulan data semua perusahaan teknologi besar perlu regulasi, bukan hanya praktik TikTok. Kepemilikan TikTok di China-lah yang membedakannya dari perusahaan teknologi milik AS lainnya," ungkap Barnet.