JAKARTA - Kelompok peretas asal Korea Utara kembali menjadi sorotan di tahun 2024 setelah mencatatkan rekor baru dalam aksi pencurian aset kripto. Berdasarkan laporan Chainalysis, total nilai kripto yang dicuri mencapai 1,34 miliar dolar AS (Rp21,7 triliun), melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 660,5 juta dolar AS (Rp10,7 triliun).
Peretas Korea Utara dikenal karena taktiknya yang beragam, seperti penggunaan malware, rekayasa sosial, dan infiltrasi perusahaan Web3. Mereka bahkan menyamar sebagai pekerja remote untuk menyusup ke jaringan perusahaan global.
Dalam sebuah kasus, Departemen Kehakiman AS mengungkap aksi 14 warga Korea Utara yang menyamar sebagai pekerja di bidang IT. Kelompok ini berhasil mencuri data penting dan memeras perusahaan sehingga berhasil menggarong dana sebesar 88 juta dolar AS (Rp1,42 triliun).
Pola serangan mereka juga berubah. Jika sebelumnya mereka fokus pada pencurian kecil, kini mereka meningkatkan jumlah yang lebih besar. Mereka mengincar dana besar di kisaran angka antara 50 juta dolar AS hingga 100 juta dolar AS (Rp810 miliar hingga Rp1,62 triliun) dalam bentuk aset kripto.
Sepanjang tahun 2024, total nilai aset kripto yang dicuri secara global mencapai 2,2 miliar dolar AS (Rp35,64 triliun). Dari angka tersebut, 61% berasal dari aksi peretas Korea Utara. Namun, pada paruh kedua tahun 2024, aktivitas pencurian menunjukkan penurunan hingga 53,73%. Penurunan ini diduga karena Korea Utara mengalihkan fokusnya ke aliansi strategis dengan Rusia, termasuk keterlibatannya dalam konflik di Ukraina.
Informasi saja, kripto hasil curian peretas Korut sering digunakan untuk mendanai program senjata dan misil Korea Utara. Hal ini dinilai melanggar sanksi internasional. Aksi peretas Korut sepanjang tahun ini tidak hanya memperparah ketegangan geopolitik, tetapi juga menandai betapa pentingnya memperkuat keamanan siber.