JAKARTA - Sebuah laporan dari firma intelijen blockchain, TRM Labs, menyatakan bahwa kelompok terkait Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK) bertanggung jawab atas sekitar 33% dari total kripto yang dicuri melalui peretasan pada tahun 2023.
Menurut laporan pada 5 Januari, TRM Labs mengatakan bahwa peretas Korea Utara potensial mencuri hingga 700 juta dolar AS (Rp10,7 triliun) dalam bentuk kripto pada 2023, di mana 600 juta dolar AS (Rp9,2 triliun) yang dikonfirmasi melalui penelitiannya.
Peretas Korea Utrara telah mencuri sekitar 3 miliar dolar AS (Rp46,1 triliun) dalam bentuk kripto sejak tahun 2017. Hal ini, menunjukkan bahwa serangan negara tersebut melibatkan aset digital yang terus meningkat dalam setahun terakhir.
Firma blockchain tersebut melaporkan bahwa metode pencucian uang DPRK terus "berkembang terus-menerus untuk menghindari tekanan penegakan hukum internasional." Penelitian menunjukkan bahwa peretas hampir selalu mengkompromikan kunci pribadi atau frasa benih pengguna, mentransfer dana ke dompet yang dikendalikan oleh DPRK, dan kemudian menukarkan aset tersebut dengan Tether (USDT) atau Tron (TRX).
"Keahlian peretasan Korea Utara membutuhkan kewaspadaan dan inovasi terus-menerus dari bisnis dan pemerintah," kata TRM Labs. "Meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam keamanan siber di antara bursa dan peningkatan kerja sama internasional dalam melacak dan memulihkan dana yang dicuri, tahun 2024 kemungkinan akan menyaksikan lebih banyak gangguan dari pencuri siber terbesar di dunia."
BACA JUGA:
Pejabat Departemen Keuangan Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap individu dan kelompok peretas yang mereka klaim terkait dengan Korea Utara, termasuk Lazarus. Setelah sanksi departemen terhadap pencampur kripto Tornado Cash dan Sinbad, TRM Labs melaporkan bahwa Korut "terus menjelajahi alat pencucian lainnya."
Sementara itu, CertiK melaporkan pada 3 Januari bahwa terdapat sekitar 751 pelanggaran pada tahun 2023, yang mengakibatkan kerugian lebih dari 1,8 miliar dolar AS (Rp27,7 triliun) dalam bentuk kripto — sepertiga di antaranya diduga menjadi tanggung jawab peretas Korut. Jaringan Ethereum dilaporkan mencatat kerugian paling tinggi sebesar 686 juta dolar AS (Rp10,5 triliun) melalui 224 insiden.
Pejabat AS seringkali merujuk pada aset digital sebagai alasan untuk memberlakukan sanksi terhadap entitas tertentu, termasuk kelompok teroris Hamas setelah serangannya pada 7 Oktober terhadap Israel. Pencampur kripto juga menjadi target khusus bagi pembuat undang-undang, yang mengklaim bahwa teknologi tersebut sebagian besar digunakan untuk tujuan ilegal.