JAKARTA - Studi PWC menyatakan bahwa meningkatnya minat bisnis dalam keamanan siber yang disebabkan oleh pertumbuhan penggunaan teknologi digital dan lanskap ancaman yang terus berkembang telah menghasilkan lonjakan pengeluaran dalam keamanan TI.
Untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang bagaimana bisnis merencanakan anggaran untuk ruang lingkup ini dan apa strategi mereka untuk investasi lebih lanjut, Kaspersky melakukan 3.230 wawancara di 26 negara dari perusahaan dengan lebih dari 50 karyawan.
Hasilnya menunjukkan bahwa anggaran TI untuk keamanan siber akan meningkat lagi selama tiga tahun ke depan bagi UMKM dan perusahaan untuk menangani berbagai insiden.
BACA JUGA:
Anggaran keamanan siber rata-rata pada tahun 2022 adalah 3,75 juta dolar AS (Rp56,8 miliar) untuk perusahaan dengan 12,5 juta dolar AS (Rp189 miliar) yang dialokasikan untuk TI secara umum. Sementara itu di sektor UMKM, mereka menginvestasikan 150 ribu dolar AS (Rp2,3 miliar) untuk keamanan TI dari anggaran TI rata-rata sebesar 375 ribu dolar AS (Rp5,6 miliar).
Di Asia Pasifik (APAC) sendiri, UMKM dan perusahaan di wilayah ini mengaku akan meningkatkan anggaran pertahanan online mereka 3% lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 14%.
Kaspersky menemukan beberapa alasan responden di Asia Pasifik ingin meningkatkan pengeluaran keamanan siber, diantaranya adalah kompleksitas infrastruktur TI (62%), dan kebutuhan untuk meningkatkan level keahlian spesialis keamanan (56%).
“Meningkatkan anggaran untuk keamanan siber adalah langkah yang tepat untuk membangun pertahanan perusahaan terhadap serangan siber dan melindungi aset mereka dari ancaman yang mungkin terjadi di tahun 2023,” komentar Chris Connell, Managing Director untuk Asia Pasifik di Kaspersky dalam pernyataan yang diterima di Jakarta.
Connell juga mengungkapkan bahwa penganggaran tambahan diharapkan akan dapat membantu perusahaan lokal di Asia Pasifik dalam mengatasi sebagian besar masalah terkait keamanan TI.