Bagikan:

JAKARTA - Berdasarkan Survei Future Enterprise Resiliency and Spending Survey IDC 2022, ada sebanyak 65 persen perusahaan di kawasan Asia/Pasifik mengalami insiden ransomware yang memblokir sistem dan akses data, dengan 83 persen antaranya mengalami gangguan bisnis selama beberapa hari hingga beberapa minggu. 

Survei juga menyebutkan total kerugian finansial dari serangan siber yang ditargetkan tersebut menelan biaya hingga 109.000 dolar AS (Rp1,62 miliar) untuk segmen enterprise pada tahun 2022, dan termasuk kerusakan reputasi karena data konfidensial yang bocor atau dijual ke pelaku ancaman siber lainnya.

Hingga saat ini, Kaspersky telah mendeteksi lebih dari 1 miliar ancaman dunia maya dan 400.000 sampel malware baru terdeteksi setiap hari. 

Menurut perusahaan global cyber security itu, dalam menghadapi ancaman yang kian menyebar tiada henti, tujuan utama dari operasi keamanan siber selain mendeteksi dan menghentikan ancaman adalah ketahanan siber.

Dalam artian, organisasi perlu menyelaraskan strategi ketahanan dunia maya dengan para pemimpin bisnis dan teknologi mereka, bekerja sama secara erat untuk memastikan gangguan seminimal mungkin dan pemulihan yang lebih mudah. 

Menurut survey IDC 2022 Asia/Pacific Enterprise Services and Security Sourcing, 43 persen bisnis di kawasan ini menyatakan bahwa tantangan terbesar untuk meningkatkan kemampuan keamanan TI adalah menyelaraskan antara tujuan bisnis dan keamanan.

“Kekurangan tenaga profesional keamanan TI terampil, penerapan TI yang terfragmentasi dan platform keamanan serta faktor manusia dalam staf yang tidak dilengkapi dengan pelatihan kesadaran keamanan siber memadai muncul di setiap organisasi, sehingga membuat penerapan kerangka kerja ketahanan siber menjadi tugas yang melelahkan,” kata Adrian Hia, Managing Director Asia Pasifik Kaspersky

Survei Future Enterprise Resiliency and Spending, IDC 2022 menyebutkan bahwa profesional keamanan TI (37%) adalah peran teknologi yang paling banyak diminta di kawasan ini, diikuti oleh profesional Operasi TI (33%). 

Sayangnya, kekurangan profesional keamanan TI yang berkualitas ini mengakibatkan 76% bisnis di Asia/Pasifik harus mengurangi, membatalkan, atau menunda inisiatif perencanaan teknologi, sementara 34% menyatakan bahwa kekurangan keterampilan membuat mereka berisiko lebih tinggi terhadap serangan siber. 

Untuk tetap berada di depan ancaman dunia maya, organisasi harus berusaha untuk berkolaborasi dengan vendor keamanan dunia maya terpercaya, terutama yang memiliki kemampuan deteksi dan respons yang diperluas (XDR) yang menawarkan layanan dan keahlian mereka di bidang teknologi, organisasi, dan sumber daya manusia untuk memastikan inisiatif ketahanan dunia maya tetap terpenuhi.