JAKARTA - Penelitian terbaru Kaspersky mengungkapkan bagaimana pendapat para profesional Keamanan TI yang bekerja untuk UMKM dan perusahaan di seluruh dunia mengenai dampak manusia terhadap keamanan siber di sebuah perusahaan.
Laporan ini menyebutkan bahwa distribusi anggaran yang tidak memadai untuk keamanan siber menyebabkan 19 persen perusahaan di Asia mengalami insiden siber dalam dua tahun terakhir.
Namun, situasinya berbeda untuk setiap industri. Misalnya, organisasi ritel yang paling banyak mengalami pelanggaran siber karena kurangnya anggaran (37 persen), diikuti oleh perusahaan telekomunikasi (33 persen) dan sektor infrastruktur penting, energi, minyak dan gas (23 persen).
“Ritel sebagai industri yang paling banyak mengalami insiden siber di sini adalah hal yang masuk akal karena para pelaku kejahatan siber mengikuti jejak uang tersebut,” ujar Adrian Hia, Managing Director untuk Asia Pasifik di Kaspersky.
Karena menurutnya, perusahaan-perusahaan tersebut adalah bagian dari gerakan digitalisasi yang lebih besar di kawasan tersebut dan menyimpan harta karun berupa data, khususnya data finansial.
Sementara itu, industri manufaktur mengalami insiden siber akibat keterbatasan anggaran dengan persentase yang lebih kecil, yaitu hanya 11 persen, dan industri transportasi & logistik mengalami 9 persen insiden siber.
BACA JUGA:
Ketika ditanyai mengenai anggaran untuk langkah-langkah keamanan siber, mayoritas (83 persen) responden di Asia Pasifik mengatakan bahwa mereka siap menghadapi atau bahkan mengantisipasi ancaman-ancaman baru.
Namun, 16 persen perusahaan tidak menunjukkan kinerja yang baik, dan 15 persen lainnya melaporkan bahwa mereka tidak memiliki cukup dana untuk melindungi infrastruktur perusahaan dengan baik.
Pada saat yang sama, masih sebanyak 2 persen perusahaan mengaku tidak memiliki alokasi biaya untuk keamanan siber sama. Mereka mengatakan tidak memiliki anggaran khusus untuk kebutuhan perlindungan siber.