JAKARTA - Studi terbaru Kaspersky menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat (77 persen) perusahaan di Asia Pasifik (APAC) mengalami setidaknya satu insiden siber dalam dua tahun terakhir.
Kemudian, beberapa pihak mengatakan alasan utama terjadinya insiden siber di perusahaan mereka adalah kurangnya alat yang memadai untuk mendeteksi ancaman (20 persen) dan kurangnya staf keamanan TI internal (24 persen).
"Bisnis di Asia Pasifik telah berjuang melawan kekurangan tenaga profesional keamanan siber lokal selama bertahun-tahun. Faktanya, pada tahun 2022, dilaporkan bahwa kawasan ini membutuhkan 2,1 juta lebih staf keamanan untuk memenuhi kebutuhan tersebut," Adrian Hia, Managing Director Asia Pasifik di Kaspersky dalam pernyataan yang diterima.
Untuk itu, studi ini memberikan angka pasti tentang bagaimana kesenjangan ini dapat berdampak buruk pada keamanan perusahaan. Di mana 32 persen di antara responden mengatakan bahwa mereka ingin melihat lebih banyak spesialis eksternal turut dilibatkan.
BACA JUGA:
Kaspersky menemukan bahwa seperempat organisasi (34 persen) berencana untuk berinvestasi pada layanan profesional pihak ketiga, dan sebanyak 34 persen responden lainnya berencana untuk melakukan outsourcing keamanan siber mereka ke MSP/MSSP (Penyedia Layanan Terkelola/Penyedia Layanan Keamanan Terkelola).
Adapun industri yang paling mungkin berinvestasi pada layanan pihak ketiga dalam waktu dekat adalah perusahaan infrastruktur kritikal, energi, dan minyak dan gas.
Dalam 12 bulan ke depan, lebih dari separuh bisnis di sini (51 persen) mempunyai rencana konkret untuk mengimplementasikan perangkat lunak yang secara otomatis mengelola keamanan siber mereka, sementara 15 persen lainnya sedang mempertimbangkan hal tersebut.