Bagikan:

Larangan buka bersama atau bukber bagi pejabat negara dan aparatur sipil negara (ASN) menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Larangan tersebut dilakukan oleh Presiden Joko Widodo yang salah satunya sebagai upaya mencegah penyebaran COVID-19.

Sebenarnya, larangan buka bersama memang memiliki niat baik dalam mengurangi risiko penyebaran COVID-19. Namun, implementasinya memerlukan komunikasi yang lebih efektif untuk menghindari keraguan dan kebingungan di kalangan masyarakat. Hal ini juga dapat meminimalkan ketidaktahuan dan kebingungan di kalangan pejabat negara dan ASN.

Di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan tentang konser musik dan ajang olahraga yang masih diperbolehkan dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM yang dicabut. Meskipun sudah ada kebijakan protokol kesehatan selama konser musik dan ajang olahraga, namun tetap ada risiko penyebaran COVID-19 terutama jika jumlah penonton dalam satu tempat sangat banyak. Selain itu, pencabutan PPKM juga menjadi pertimbangan yang cukup penting karena dapat menimbulkan kerumunan dan memperbesar risiko penyebaran COVID-19.

Mungkin ada bertanya-tanya, apakah logika dibalik larangan bukber ini cukup kuat? Bila melihat data terkait penyebaran COVID-19, kita bisa menemukan bahwa pada awal pandemi, kasus COVID-19 banyak terjadi setelah adanya acara yang melibatkan banyak orang, seperti konser musik, ajang olahraga, pesta pernikahan, dan acara keluarga. Namun, dengan mempertimbangkan fakta bahwa saat ini PPKM sudah dicabut, dan kegiatan lain seperti konser musik dan ajang olahraga diizinkan, maka melarang bukber sepertinya tidak konsisten dan kurang adil.

Sebaliknya, larangan ini telah menimbulkan kebingungan dan keresahan di kalangan masyarakat. Beberapa pihak menilai bahwa larangan bukber ini tidak hanya terlalu berlebihan, tetapi juga cenderung mendiskriminasi umat Muslim. Kritik juga dilontarkan oleh beberapa pengamat yang menyatakan bahwa larangan bukber ini membingungkan dan tidak memiliki dasar yang kuat.

Sementara itu, beberapa pejabat negara dan politisi juga memberikan pandangan mereka terkait larangan bukber ini. Ada yang menyatakan setuju dengan kebijakan tersebut, seperti Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Namun, ada juga yang merasa keberatan, seperti politisi Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, yang menyarankan agar larangan tersebut dicabut.

Larangan buka bersama yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo juga menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan masyarakat. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Pihak yang tidak setuju dengan kebijakan ini merasa bahwa larangan buka bersama ini kurang tepat dan cenderung menghambat kegiatan keagamaan.

Akan tetapi, ada pula pihak yang setuju dengan kebijakan ini karena melihat dampak dari kegiatan buka bersama yang sering kali menimbulkan kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan. Pihak yang setuju dengan kebijakan ini juga menganggap bahwa kegiatan buka bersama dapat dilakukan secara virtual atau di rumah masing-masing dengan anggota keluarga terdekat.

Jadi, keputusan untuk melarang berkumpul saat berbuka puasa bersama bagi pejabat negara dan ASN memiliki niat baik dalam mencegah penyebaran COVID-19. Namun, kebijakan ini juga harus dilihat dari berbagai sudut pandang dan harus disertai dengan komunikasi yang efektif untuk menghindari kebingungan dan ketidaktahuan di kalangan masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga harus konsisten dengan kebijakan lain yang berhubungan dengan protokol kesehatan, seperti konser musik, ajang olahraga dan PPKM yang dicabut.

Kembali ke masalah konser musik dan ajang olahraga yang tetap diizinkan, mungkin saja kebijakan ini dikeluarkan dengan alasan ekonomi, terutama setelah sektor pariwisata dan hiburan mengalami kerugian besar akibat pandemi. Namun, seharusnya Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan konsisten dan adil, dan tidak memihak pada satu pihak saja. Jika niatnya agar pejabat atau ASN tidak menggelar bukber menggunakan dana APBN atau APBD agar tidak boros dan pamer, oke-oke saja. Pastikan saja cara penyampaiannya jelas. Dan, mungkin jejak digital juga bisa terlacak kalau Presiden Jokowi dan juga pejabat di pemerintahan belakangan hadir di acara yang melibatkan banyak massa. Malah di awal bulan Ramadan petinggi salah satu partai politik justru menggelar buka bersama yang dihadiri petinggi-petinggi partai politik yang diantaranya ada yang masih berstatus sebagai pejabat negara.