JAKARTA - Diceritakan sebelumnya, mantan pelatih Juventus Giovanni Trapattoni diterima publik Firenze setelah melakukan simbol penyucian, penyambutan dan sumpah setia yang disebut Degobbizzazione. Sejak saat itu, banyak eks Juventino yang menyeberang ke Fiorentina. Tapi, ada yang diterima, ada pula yang dicap 'tidak suci'.
Bek Moreno Torricelli dan gelandang Angelo Di Livio. Kedua pemain ini tidak bisa seenaknya menginjakkan kaki mereka di rumput stadion Artemio Franchi sebelum mengucap ‘sumpah’ di depan tifosi.
Torricelli tiba di Firenze pada musim 1998/1999 setelah enam musim membela Juventus. Selama bermain untuk Bianconeri, ia dijuluki ‘Monster’ lantaran kepiawaiannya menjegal para striker lawan. Saking dicintai Juventini, ia pun berikrar untuk jadi Juventino sejati.
Tapi apa yang terjadi usai musim 1997/1998? Ia kaget benar ketika namanya masuk dalam daftar pemain yanga bakal dijual. Marcello Lippi, yang juga mendepak Mr. Trap dari kursi pelatih, menganggap Toricelli sudah tak diperlukan tim lagi. Beruntung, I Viola meminangnya.
Meski pada awal musim 1998/1999 tifosi Fiorentina sempat mempertanyakan keseriusan Torricelli, ia berhasil mengambil hati tifosi klub berseragam ungu itu setelah bersumpah untuk membaktikan seluruh sisa kariernya kepada Fiorentina.
“Saya ingin mengakhiri karier sepak bola di Firenze,” ungkap ‘Si Monster’ seperti dilansir La Gazzetta dello Sport pada Desember 1999.
Seperti Torricelli, Di Livio pun harus bersumpah di depan Fiorentini akibat tampil buruk pada tiga bulan pertamanya sejak berkostum Fiorentina. Parahnya, ia bahkan dianggap mata-mata Juventus.
“Semua orang tahu bahwa ada semacam permusuhan antara suporter Fiorentina dengan suporter Juventus, jadi ketika saya tiba di Firenze, cukup banyak tifosi Fiorentina yang merasa tidak suka, tetapi setelah tiga bulan berlalu, sepertinya saya berhasil memperoleh kepercayaan mereka seperti yang diperoleh Trapattoni dan Torricelli,” beber ‘Prajurit Kecil Roma’ Di Livio.
“Saat ini Juventus adalah musuh nomor satu saya, mereka membuang saya, mencapakkan saya, padahal saya memiliki perjanjian dengan klub itu untuk memperpanjang kontrak, tetapi mereka mengusir saya,” tambahnya saat itu.
Di Livio memberi bukti kepada tifosi Fiorentina. Ia bukan cuma bermain total tapi tetap bertahan di Firenze kendati klub terdegradasi ke Serie B dan dinyatakan bangkrut serta harus memulai kiprah di Serie C2 pada musim 2002/2003. Ia adalah kapten Fiorentina.
Torricelli dan Di Livio mungkin bisa meraih hati Fiorentini usai mengucap ‘sumpah’. Tapi, itu tidak berlaku untuk Fabrizio Ravanelli.
Menjelang bergulirnya musim kompetisi 1999/2000. Penyerang berambut putih itu jadi kandidat kuat pengganti penyerang I Viola asal Brasil, Edmundo Alves, yang pulang ke ke Vasco Da Gama.
Pemain yang ikut membawa Juventus menjuarai Liga Champions 1996 itu merasa dapat kehormatan berpeluang bermain di klub yang dijuluki “Si Ungu” itu. Tetapi pendukung I Viola segera menyatakan penolakannya begitu mendengar Ravanelli akan menggantikan Edmundo.
Fiorentini menganggap Ravanelli ‘tidak bersih lingkungan’. Keterlibatannya dengan La Vecchia Signora masih dianggap ‘dosa besar’, meskipun ia sudah pindah ke Middlesbrough di Inggris dan Marseille di Prancis.
“Pelatih menginginkan saya, presiden klub juga menginginkan saya, dan tampaknya para pemain pun mau menerima saya. tetapi saya dengar pendukung Fiorentina dengan tegas menolak kehadiran saya,” sesal Ravanelli saat itu.
BACA JUGA:
Kendati demikian, Ravanelli mengaku tidak mau memicu keributan dengan tifosi I Gigliati. Tapi, ia mengaku sedih melihat sikap para tifosi lantaran ia benar-benar ingin bermain bersama pemain-pemain top seperti Gabriel Batistuta dan Manuel Cesar Rui Costa, juga merasakan tangan dingin Giovanni Trapattoni.
“Meskipun dulu saya seorang Juventino, bukan berarti saya tidak bisa menjadi seorang Fiorentino yang baik, yang siap membela klub dengan penuh kebanggaan. Saya benar-benar sedih, tetapi saya tolol jika dalam keadaan seperti ini pergi ke Fiorentina,” pungkasnya pasrah.
Beberapa hari berselang Torino berminat kepada Ravanelli. Tapi, rencana kepindahannya lagi-lagi gagal lantaran ditolak tifosi Il Toro. Alasannya, tentu saja latar belakang Ravanelli yang pernah jadi simbol rival utama Torino, Juventus. Malangnya Ravanelli.