Tak Ada yang Berubah dengan Slogan Fiorentina: Boleh Kalah, Asal Bukan dari Juventus!
Martin Caceres dan Gaetano Castrovilli (Twitter @acfiorentina)

Bagikan:

JAKARTA - Ketika wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan Juventus versus Fiorentina berakhir, di situlah penggemar La Viola menyadari: tidak ada alasan untuk membenci klub ini! Warga Firenze menganggap Fiorentina sebagai agama kedua, sementara penggemar di Indonesia memperlakukannya seperti istri simpanan. Berlebihan?

Fiorentina bertandang ke markas Juventus, Allianz Stadium, pada pekan ke-14 Serie A, Rabu, 23 Desember dini hari. Sebelum kick-off, Fiorentini sudah siap menerima hasil apapun. Tak ada lagi keinginan muluk-muluk, selain kepasrahan yang diiringi umpatan. 

Bukan tanpa alasan. Musim ini Fiorentina tampil sangat buruk. Sejak dipegang pelatih Cesare Prandelli - yang kembali ke Tuscany setelah pergi 10 tahun lalu - La Viola tak pernah menang dalam 6 pertandingan liga. German Pezzella dkk cuma tiga kali main imbang dan menderita tiga kekalahan.

Lebih jauh. Sepanjang musim 2020/2021, klub berlambang bunga lili ini baru meraih dua kemenangan dan terbelenggu di posisi 16 dengan poin 11 alias cuma dua strip dari jurang degradasi. Praktis, bayang-bayang kelam musim 2001-2002 pun menghantui.

Pola permainan yang tanpa arah, bola yang kerap muter-muter di tengah, penyelesaian akhir yang buruk, hingga tidak adanya sosok pembeda dalam tim membuat Fiorentina seperti klub tarkam. Bayangkan, Artemio Franchi tak lagi angker buat tim lawan! 

Tim sekelas Benevento, yang baru promosi ke Serie A, bisa menang di kandang kebanggaan warga Firenze. Sementara Sampdoria, Genoa, Sassuolo, dan Verona mampu mencuri satu poin di 'altar suci' milik Fiorentina. Tim macam apa ini?

Sumpah serapah dan caci maki dilontarkan kepada presiden klub Rocco B. Commisso, direktur olahraga Daniele Prade, hingga pelatih Cesare Prandelli. Bedanya, penggemar di Italia lebih kalem dibandingkan penggemar di Indonesia. Meski di sana ada ultras - kelompok suporter fanatik yang doyan bakar-bakaran, mereka cukup memasang spanduk bertuliskan “Our love for the shirt is infinite. Our patience, no... Wake up everyone!”. Sementara di sini, penggemar melontarkan kata-kata kasar hingga menyumpahi Fiorentina degradasi. Dan itu dilakukan di depan berhala yang mereka 'sembah', layar kaca! 

Sejak Stefano Pioli mengarsiteki tim ini tiga tahun lalu, lantas berganti nakhoda kepada Vincenzo Montella dan kemudian ke Giuseppe Iachini, penggemar selalu dibuat was-was setiap kali menonton pertandingan Fiorentina. Bisa main imbang saja sudah syukur. Targetnya cuma salvezza, selamat dari zona merah.

Lalu Prandelli datang dan diharapkan jadi juru selamat. Namun janji manis yang ia ucapkan saat diperkenalkan secara virtual pada November lalu, tidak terbukti. Hasilnya NOL BESAR.

Pekan 14 pun tiba. Pezzella dkk bertandang ke Allianz Stadium dalam kondisi compang-camping. Mereka akan menghadapi tim yang dihuni dua pemain didikan akademi Fiorentina, duo Federico, Bernardeschi dan Chiesa: para pengkhianat! Juga mantan Fiorentino lainnya, Juan Cuadrado.

Baru tiga menit pertandingan berjalan, Dusan Vlahovic yang kerap dirundung penggemar karena sering buang-buang peluang, menjebol gawang Wojciech Szczęsny. Umpan lezat Franck Ribery sukses dikonversi pemain bernomor punggung 9 itu. Selebihnya, seperti diungkap salah satu Juventino di media sosial: "Kalah saat winter break adalah cara yang hina."

Fiorentina Menggila

Fiorentina memulai pertandingan di Allianz Stadium dengan sempurna. Mereka membuka keunggulan saat pertandingan baru berusia tiga menit. Diawali umpan terobosan Ribery kepada Vlahovic, striker Serbia mampu mengungguli Matthijs de Ligt saat beradu lari dan menaklukkan kiper Szczesny.

Situasi berubah semakin buruk bagi Juventus. Cuadrado melakukan tekel berbahaya ke arah tulang kering Gaetano Castrovilli. Wasit awalnya hanya memberikan kartu kuning, namun setelah melihat VAR, ia mengubah keputusannya dengan memberi kartu merah.

Bernardeschi dimasukkan untuk menggantikan Alvaro Morata pada babak kedua. Cristiano Ronaldo kemudian menanduk bola masuk ke gawang tim tamu, namun ia lebih dahulu berada pada posisi off-side.

Di tengah upaya keras Juventus untuk mengejar gol penyama kedudukan, mereka justru kemasukan gol bunuh diri pada menit ke-76. Umpan silang Cristiano Biraghi dari sisi kiri kepada Christian Kouame terkena Leonardo Bonucci yang berusaha menyapu bola. Bola kemudian memantul mengenai Alex Sandro dan masuk ke gawang tuan rumah.

Beberapa saat kemudian Juventus berharap mendapat hadiah penalti saat Bernardeschi dijatuhkan kiper La Viola Bartlomiej Dragowski. Namun wasit menganggap tidak terjadi pelanggaran.

Memasuki menit ke-81, Fiorentina mengemas gol terakhir laga itu. Ribery mencuri bola dari Bonucci untuk menginisiasi serangan balik, Biraghi menggulirkan bola dari kiri dan Martin Caceres leluasa menyambarnya untuk membobol gawang bekas klubnya tersebut.

“Kami mendedikasikan kemenangan ini untuk para penggemar, karena mereka berada di sisi kami, mereka menderita bersama kami dan saya harap ini dapat memberi pengertian pada segala upaya yang telah kami lakukan. Kerja keras pada akhirnya membuahkan hasil dan kami masih belum sampai di sana, karena memang kami mendapat sedikit keberuntungan dengan kartu merah awal," Prandelli mengatakan seusai laga, dilansir dari Football Italia.

“Namun, para pemain tidak hanya menunjukkan karakter yang kami cari, tapi juga keberanian yang saya minta."

Ini merupakan kemenangan pertama Fiorentina di kandang Juventus di ajang Serie A sejak Maret 2008. Kala itu La Viola menang 3-2, juga di bawah asuhan Prandelli.

Perseteruan Kekal 

Tidak banyak yang tahu tentang  perseteruan Fiorentina dan Juventus. Sebagian orang hanya mengenal nama Torino (klub sekota Juventus) atau Inter Milan - yang 'dicurangi' Bianconeri pada musim 1997/1998 - sebagai musuh bebuyutan tim yang bermarkas di kota Turin itu. Padahal, bara di antara dua klub ini sudah berkobar sejak lebih dari tiga dekade lalu.

Mengutip buku karya M. Kusnaeni, Sepak Bola Italia (1998), kejadian berawal pada musim kompetisi 1981-1982. Fiorentina yang saat itu dilatih Giancarlo De Sisti mempertahankan sang maskot Giancarlo Antognoni yang mulai menua. Tetapi, sang pelatih menambah amunisi dengan sejumlah pemain muda berbakat seperti libero Pietro Vierchowod dan penyerang Daniele Massaro.

Selama separuh musim Fiorentina memimpin liga. Hanya saja, menjelang pertandingan terakhir perolehan nilai mereka bisa disamai Juventus. Pada partai pamungkas, Juventus bertandang ke Catanzaro, sedangkan Fiorentina ke Cagliari. Di sinilah percikan api menyala.

Hingga akhir babak pertama, kedudukan masih sama-sama imbang tanpa gol. Para pengamat pun mulai membicarakan kemungkinan penentuan juara lewat pertandingan play-off.

Tapi, terjadilah skandal yang menghebohkan. Pada babak kedua La Viola mencetak gol lewat  Francesco Graziani. Tapi entah kenapa wasit menganulir. Di saat bersamaan, Juventus malah dihadiahi penalti yang dicetak oleh Liam Brady pada menit ke-75.

Gelar pun terbang ke Turin diiringi tangis kepedihan Fiorentini. Selama berminggu-minggu, mereka turun ke jalanan untuk memprotes kepemimpinan wasit. Tapi FIGC (PSSI-nya Italia) bergeming dan tetap mengesahkan gelar Juventus. Keputusan tersebut akan selalu membekas di hati tifosi La Viola. Waktu itu mereka meneriakkan kata-kata “Meglio secondi che ladri,” yang jika diartikan berarti “Lebih baik menjadi peringkat kedua dari pada menjadi maling”.

Itu pula sebabnya kota Firenze berpesta semalaman ketika Fiorentina memukul Juventus 3-0 pada musim 1997-1998. Bagi mereka kemenangan itu tak ubahnya sukses meraih Scudetto.

Luka publik Firenze terhadap Juventus memang sangat dalam. Setelah Juventus ‘mencuri’ Scudetto 1982 dari genggaman Fiorentina, Bianconeri kembali berulah.

Fiorentina merekrut pemain muda penuh talenta, Roberto Baggio, dari Vicenza pada musim 1985-1986. Di klub barunya, pemain berambut ikal ini menjelma sebagai penyerang elegan dan haus gol.

Empat tahun berselang, bersama gelandang asal Brasil Carlos Dunga, Baggio membawa Fiorentina melaju ke final Piala UEFA. Lagi-lagi lawan mereka adalah Juventus.

Pada pertandingan pertama di Turin, Fiorentina menyerah 1-3. Tapi mereka tetap optimistis bisa merebut gelar juara dengan kemenangan di kandang sendiri. Namun nasib kembali tak berpihak kepada Fiorentina. Gara-gara pendukungnya dianggap bikin onar di Turin, Dunga dkk dilarang menggelar partai kedua di stadion Artemio Franchi.

Sialnya, ‘kota netral’ yang terpilih adalah Avellino. Kota kecil ini memang tak punya klub besar. Tapi pendukung Fiorentina tetap tak senang. Soalnya, warga Avellino punya tradisi mendukung Juventus. Benar saja, tanpa dukungan publik setempat, Fiorentina dipaksa main imbang tanpa gol. Gelar pun melayang lagi.

Yang lebih menyakitkan, beberapa pekan berselang, Juventus menikam La Viola dari belakang. Menjelang Piala Dunia 1990, La Vecchia Signora membeli Baggio dengan rekor transfer – saat itu – 8 juta poundsterling. Baggio mengaku tak berniat meninggalkan Firenze dengan mengatakan; “Saya dipaksa menerima transfer ini.”

Seisi kota Firenze meradang. Pendukung yang marah melampiaskannya lewat aksi-aksi kekerasan di jalanan kota. Bendera-bendera Juventus dibakar dan sekitar 50 orang terluka. Juventus dituduh tak cuma ‘mencuri’ Scudetto dan Piala UEFA tapi bintang kesayangan mereka.

Tifosi La Viola yang marah sempat menyerbu ke kamp latihan tim nasional Italia di Coverciano, kota kecil dekat Firenze. Yang jadi sasaran bukan cuma Baggio, melainkan juga  Nicola Berti. Setahun sebelumnya, Berti meninggalkan Fiorentina ke Inter Milan.

Tapi sasaran utama kemarahan publik adalah presiden Fiorentina, Lorenzo Righetti. Ia dipandang tak becus dan rakus. Akibatnya, Righetti terpaksa menjual sahamnya kepada pengusaha hiburan Mario Cecchi Gori. Sebelum meninggal, sang miliarder kemudian mewariskan jabatan presiden La Viola kepada anaknya, Vittorio.

Ketika Baggio kembali ke Firenze pada musim berikutnya penjagaan terhadapnya begitu ketat. Suasana stadion pun terasa mencekam karena pendukung Fiorentina tampak masih geram.

Puncaknya ketika Juventus mendapat hadiah penalti. Saat itu tuan rumah lebih dulu unggul satu gol lewat eksekusi Diego Fuser. Baggio, spesialis eksekutor penalti Juventus, tiba-tiba menolak jadi algojo. Terang saja, tak cuma penonton, seluruh awak La Vecchia Signora pun kebingungan dibuatnya.

Lalu Gigi De Agostini yang mengambil eksekusi tersebut gagal memanfaatkannya, kemudian Baggio pun ditarik keluar untuk diganti dengan pemain lain. Namun, saat memasuki ruang ganti, ia mengambil sebuah syal Fiorentina yang dilemparkan salah satu penggemar ke lapangan. Ia menciumnya dan berkata: “Jauh di dalam hati saya, saya selalu ungu (warna kebesaran Fiorentina).” 

Roberto Baggio mengambil syal Fiorentina yang dilemparkan ke lapangan (Twitter)

Terang saja, kelakuan Baggio itu menjadi sesuatu yang juga sulit dimaafkan Juventini. Tapi, Thomas Haesller, rekan setimnya kala itu, memaklumi Baggio. “Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, baru saat itulah saya merasakan bertanding tak cuma lawan 11 orang. Tapi menghadapi seisi stadion,” kata gelandang asal Jerman itu.

Setelah kepergian Baggio, Fiorentina mencoba mengatasinya dengan membeli penyerang muda asal Argentina yang kemudian menjadi simbol kedigdayaan La Viola, Gabriel Omar Batistuta.

Degobbizzazione

Sejak insiden pencurian Roberto Baggio, perpindahan pemain di antara Fiorentina dan Juventus jauh lebih ketat. Di era presiden Vittorio Cecchi Gori bahkan berlaku hukum ‘halal’ dan ‘haram’. Meskipun pada akhirnya ada mantan pemain Juventus yang berseragam Fiorentina mereka harus melakukan ritual ‘Degobbizzazione’ - simbol penyucian, penyambutan dan sumpah setia. Ya, semacam mandi kembang.

Melansir La Gazzetta dello Sport, secara harfiah, ‘Degobbizzazione’ bisa diartikan dengan ‘De-Juvenisasi’ atau penghilangan segala sesuatu yang berbau Juventus. Sementara arti kata ‘gobbo’ (jamaknya: ‘gobbi’) dalam bahasa Italia berarti hunchbacked, dan bisa dimaknai sebagai “tertunduk” atau “tertindas”. Sebuah istilah yang dilekatkan kepada pendukung Juventus yang berasal dari kota industri Turin yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai buruh pabrik. Seperti diketahui, dalam pergolakan politik di seluruh dunia, kaum buruh adalah kaum yang tertindas oleh para kapitalis atau para pemilik modal. Inilah asal usul kata ‘gobbo’ yang melekat pada tifosi Juventus.

Namun, setelah Fiorentina dinyatakan bangkrut dan harus memulai kiprah di Serie C2 pada musim 2002-2003, klub ini diambil alih pengusaha sepatu dan entrepreneur di bidang kulit, Diego Della Valle. Di era ini, perpindahan pemain dari Fiorentina ke Juventus atau sebaliknya lebih lentur.

Della Valle tak pernah memandang latar belakang klub. Ia lebih melihat kualitas dan usia muda si pemain. Terbukti, sampai musim terakhir era pertama kepelatihan Prandelli, 2009-2010, hasilnya cukup memuaskan. Fiorentina disegani di Serie A dan Liga Champions.

Adrian Mutu, Manuele Blasi, Enzo Marescha, Fabrizio Miccoli, Marco Marchionni, Cristiano Zanetti, Sergio Almiron, Christian Vieri, Amauri Carvalho dan bahkan pelatih Cesare Prandelli adalah Fiorentini yang bermasa lalu Juventus. Sebaliknya, Giorgio Chiellini, Valeri Bojinov, Emiliano Moretti, Felipe Melo dan Luca Toni adalah para eks punggawa La Viola yang ‘menyeberang’ ke La Vecchia Signora.

Kendati Della Valle lebih lunak dalam kebijakan transfer, bukan berarti permusuhan mendingin. Luca Toni misalnya (yang membelot ke Juventus di pertengahan musim 2011-2012), meski punya kenangan manis dengan La Viola ia tidak ragu mengatakan akan melakukan perayaan gol jika sukses membobol gawang Fiorentina ketika kedua tim bersua pada pekan ke-33 di Artemio Franchi.

“Saya memiliki dua musim luar biasa di Fiorentina. Namun seandainya saya mencetak gol melawan mereka maka saya akan merayakannya karena merayakan bukan tidak menghormati mantan suporter Anda,” tutur Toni dikutip dari Sky Sport Italia.

Meski niatan Toni akhirnya tak terealisasi lantaran laga yang berlangsung 17 April itu berakhir imbang tanpa gol, tetap saja kata-katanya bikin tifosi Fiorentina geram. Beruntung, penyerang yang mengantar Italia juara Piala Dunia 2006 ini kembali berkostum ungu di musim 2012-2013 dengan status bebas transfer. Ia memberikan pernyataan terbuka akan rasa cintanya kepada Fiorentina.

“Saya senang bisa kembali ke rumah (Fiorentina). Banyak yang berubah di kota ini, tetapi saya tidak merasa telah pergi selama enam tahun. Ketika tawaran itu datang saya yang langsung menerima. Tidak mudah memang datang ke kota di mana saya pernah menyumbang banyak hal, tetapi saya bahagia dan siap beraksi,” kata Toni dilansir dari Football Italia.

Karena hal-hal seperti Toni (menyeberang) pulalah ritual ‘Degobbizzazione’ tidak dihilangkan begitu saja. Dan Marco Marchionni, kes Juventino yang pindah ke Firenze pada musim 2009-2010 merupakan pemain lain yang menjalani ritual ini. Ia bahkan didatangi langsung oleh sekelompok fans militan bernama “Gruppo Storico” usai menjalani sesi latihan. Selain menjalani ritual ‘Degobbizzazione’, Marchioni juga dipaksa berjanji untuk merayakan gol pertamanya dengan berlari ke arah Curva Fiesole (kelompok pendukung Fiorentina paling hardcore) sebagai bukti pengabdiannya kepada Fiorentina.

Selain Toni dan Marchioni, gelandang Brasil Felipe Melo dan pemain Argentina Sergio Almiron juga memberikan pernyataan terbuka mengenai kepindahannya. Melo, yang menyeberang ke Bianconeri pada musim 2009-2010 berterima kasih sekaligus meminta maaf kepada tifosi Fiorentina. Sementara Almiron yang bergabung dengan Pasukan Ungu musim sebelumnya secara blak-blakan mengungkapkan kekecewaannya terhadap klub yang mencampakannya, Juventus.

“Saya berterima kasih kepada fans La Viola untuk apa yang telah mereka berikan selama ini. Mereka akan selalu berada di hati saya. Saya minta maaf bila sekarang ada beberapa, atau mungkin juga banyak, suporter yang marah pada saya. Namun ini merupakan jalan yang harus saya tempuh. Perpindahan ini punya sisi positif bagi Fiorentina karena mereka bisa melakukan investasi dari hasil penjualan saya,” kata Melo kepada La Gazzetta dello Sport.

“Saya berada di sini untuk membuktikan Juventus salah. Saya benar-benar sudah lebih siap dan saya ingin membuktikan kemampuan terbaik di sini. Lebih baik saya tidak membicarakan itu (Juve) lagi. Claudio Ranieri (pelatih Juve saat itu) adalah salah satu orang yang setuju saya dikontrak tapi kemudian saya tidak diberi tempat dalam timnya,” beber Almiron.

Juventus Kualat

Memasuki musim 2013-2014, perseteruan kembali memanas. Juventus sebagai juara bertahan menghadapi Fiorentina di pekan ke-8 Serie A pada 20 Oktober di stadion Artemio Franchi. Pada babak pertama, Si Nyonya Tua berhasil unggul lewat dua gol Carlos Tevez (penati, 37) dan Paul Pogba (40).

Usai membobol gawang Norberto Murara Neto, baik Tevez maupun Pogba sama-sama melakukan selebrasi ‘machine gun’ yang menjadi salah satu ciri khas legenda Fiorentina, Gabriel Batistuta di era 90-an. Seakan mengejek, Tevez mengarahkan ‘senapan mesin’ itu ke arah Curva Fiesole sementara Pogba sambil tertawa-tawa.

Seperti tersulut provokasi yang dilakukan dua penggawa Juventus, memasuki paruh kedua Fiorentina membabi buta dengan menyarangkan empat gol. Diawali eksekusi penalti Giuseppe Rossi pada menit ke-66, kembali Rossi (76), kemudian Joaquin Sanchez (78), dan lagi-lagi ditutup Rossi (81). Skor 4-2 untuk kemenangan La Viola bertahan hingga wasit meniup peluit panjang.

Di akhir laga, pemilik Fiorentina Andrea Della Valle melontarkan sindiran kepada pihak Juve. Menurutnya, skuat Antonio Conte “kualat” lantaran dua gol Tevez dan Pogba meniru selebrasi legenda Fiorentina, Il Re Leone Batigol.

“Saya melihat (selebrasi) senapan mesin itu dan hal tersebut memberikan kami keberuntungan. Kami membalasnya dengan empat tembakan senapan,” kata Della Valle di dilansir dari Football Italia.

“Kemenangan ini sungguh luar biasa dan dengan ini kami menghapus banyak kenangan buruk. Penting untuk menemukan semangat ini. Penampilan ini kami persembahkan untuk seluruh fans dan semua orang di kota ini. Firenze menang, hati kami juga menang, kami tidak pernah putus asa!” sambungnya.

Di ajang Serie A, kemenangan ini menjadi yang pertama bagi Fiorentina atas Juventus di kandang sendiri setelah yang terakhir mereka raih 15 tahun sebelumnya. Ketika itu, Fiorentina menang 1-0 lewat gol tunggal Batistuta!

Jelas sudah, apa asal-muasal perseteruan Fiorentina dan Juventus. Sampai-sampai di Italia muncul imbauan, jika fans Juve berkunjung ke kota Firenze, jangan mengenakan atribut putih-hitam. Alih-alih menikmati liburan, malah dikejar-kejar tifosi militan.

Umpatan adalah Tanda Cinta

Jika ada fans yang mengumpat ketika tim kesayangannya kalah, itu cara mereka menunjukkan rasa cinta. Namanya juga sama 'istri simpanan'. Semburan kata-kata kasar di depan layar kaca bisa dibilang wajar, mengingat keputusan mereka untuk memangkas jatah tidur berujung sia-sia.

Tidak mudah jadi penggemar tim seperti Fiorentina. Berharap tidak kalah setiap pekan, berdoa agar tidak terdegradasi di akhir musim, atau menebak-nebak tanpa jawaban siapa pemain bintang yang akan datang di bursa transfer, jadi hal biasa. Kesabaran fans La Viola sudah teruji. 

Bukannya tidak mau trofi. Setiap klub pasti ingin lemari piala mereka penuh terisi. Apalagi, Fiorentina sudah puasa gelar selama 19 tahun, sejak Manuel Rui Costa membawa La Viola menjuarai Coppa Italia 2000-2001. Tapi, kapan trofi itu datang lagi?

Bicara soal Scudetto, mungkin cuma mimpi dan target muluk-muluk. AC Milan, Inter Milan, Lazio, Napoli dan AS Roma saja ngos-ngosan ngejar Juventus selama bertahun-tahun. Ini Fiorentina, tim yang punya presiden dengan kadar ambisi 'dipertanyakan'. Saat ini, main bagus dan menghibur saja sudah lebih dari cukup. Syukur-syukur pulang membawa tiga poin.

Tidak mudah jadi penggemar Fiorentina. Kurang-kurang sabar, bisa gila. Tapi, harapan selalu ada. Kemenangan 3-0 atas Juventus di pekan 14 musim 2020-2021 memang tidak membuat Si Ungu terbang ke puncak klasemen. Tapi, slogan klub yang bermarkas di tempat lahirnya 'kejeniusan Italia' atau Renaissance ini tetap sama: "Boleh kalah, asal bukan dari Juventus!"

Juventus 0 - Fiorentina 3. Game over!