Perseteruan Fiorentina dan Juventus (1): Momen Pahit 1982, <i>Meglio Secondi Che Ladri</i>
Formasi Fiorentina di final Piala UEFA 1989/1990 (Foto: Wikipedia)

Bagikan:

JAKARTA - Dusan Vlahovic berganti kostum dari Fiorentina ke Juventus sekaligus jadi pemain kesekian yang dianggap pengkhianat oleh publik Firenze. Dalam kamus sepak bola Italia, perpindahan pemain dari dua klub rival haram dilakukan.

Tidak banyak pecinta sepak bola yang tahu tentang perseteruan panjang Fiorentina dengan Juventus. Sebagian orang mungkin hanya mengenal nama Torino (klub sekota Juventus) atau Inter Milan sebagai musuh bebuyutan tim yang bermarkas di kota Turin itu.

Lalu, sejak kapan perseteruan antara Fiorentina dan Juventus dimulai? Apa penyebabnya dan mengapa perseteruan itu begitu abadi? Mari kita simak kisah berikut ini yang kami rangkum dari berbagai sumber, salah satunya dari buku karya Mohamad Kusnaeni rilisan 1998 berjudul Sepak Bola Italia.

Kejadian berawal pada musim kompetisi 1981/1982. Fiorentina yang saat itu dilatih Giancarlo De Sisti mempertahankan sang maskot Giancarlo Antognoni yang mulai menua. Tapi, ia menambah amunisi dengan sejumlah pemain muda berbakat seperti libero Pietro Vierchowod dan penyerang Daniele Massaro.

Selama separuh musim Fiorentina memimpin liga. Tapi, menjelang pertandingan terakhir, perolehan nilai mereka bisa disamai Juventus. Pada partai pamungkas, Juventus bertandang ke Catanzaro, sedangkan Fiorentina ke Cagliari.

Hingga akhir babak pertama, kedudukan masih sama-sama imbang tanpa gol. Para pengamat pun mulai membicarakan kemungkinan penentuan juara lewat pertandingan play off.

Terjadilah skandal yang menghebohkan. Pada babak kedua, I Viola mencetak gol lewat Francesco Graziani. Tapi entah kenapa wasit menganulir. Di saat bersamaan, Juventus malah dihadiahi penalti yang dicetak Liam Brady pada menit ke-75.

Gelar pun terbang ke Turin diiringi tangis kepedihan Fiorentini. Selama berpekan-pekan, mereka turun ke jalanan untuk memprotes kepemimpinan wasit. Tapi FIGC (PSSI-nya Italia) tak bergeming dan tetap mengesahkan gelar Juventus.

Sampai kapan pun, keputusan tersebut akan selalu membekas di hati tifosi I Viola. Pada saat itu mereka sampai meneriakkan kata-kata “Meglio secondi che ladri,” yang jika diartikan “Lebih baik jadi peringkat kedua daripada jadi maling”.

Sejak itulah berkembang teori konspirasi dan politik uang Juventus dalam percaturan Serie A. Ketika kasus serupa dialami Inter Milan pada musim 1997/1998, pengurus Fiorentina yang paling vokal menduga adanya konspirasi tersebut.

Itu pula sebabnya kota Firenze berpesta semalaman ketika Fiorentina memukul Juventus 3-0 pada musim 1997/1998. Bagi mereka kemenangan itu tak ubahnya sukses meraih Scudetto.

Tak sampai di situ. Luka publik Firenze terhadap Juventus sangat dalam. Setelah Juventus dianggap mencuri Scudetto 1982 dari genggaman Fiorentina, pada musim 1989/90 Bianconeri kembali berulah.

Pada musim 1985/1986, Fiorentina merekrut pemain muda penuh talenta, Roberto Baggio, dari Vicenza. Di klub barunya, pemain berambut ikal ini tumbuh sebagai penyerang elegan dan haus gol.

Empat tahun berselang, tepatnya musim 1989/1990, bersama gelandang asal Brasil Carlos Dunga, Baggio membawa Fiorentina melaju ke final Piala UEFA. Lagi-lagi lawan mereka adalah Juventus.

Pada pertandingan pertama di Turin, Fiorentina menyerah 1-3. Tapi mereka tetap optimistis bisa merebut gelar juara dengan kemenangan di kandang sendiri. tapi nasib kembali tak berpihak kepada Fiorentina. Gara-gara pendukungnya dianggap bikin onar di Turin, FIGC melarang Fiorentina menggelar partai kedua di stadion Artemio Franchi.

Apesnya, ‘kota netral’ yang terpilih adalah Avellino. Kota kecil ini memang tak punya klub besar. Tapi pendukung Fiorentina tetap tidak suka karena warga Avellino punya tradisi mendukung Juventus. Benar saja, tanpa dukungan publik setempat, Fiorentina dipaksa main imbang tanpa gol. Gelar pun melayang lagi.

Lebih menyakitkannya, hanya beberapa pekan berselang, Juventus menikam I Viola dari belakang. Menjelang Piala Dunia 1990, La Vecchia Signora membajak Baggio dengan rekor transfer – saat itu – 8 juta poundsterling. Baggio saat itu mengaku tidak berniat meninggalkan Firenze dengan mengatakan; “Saya dipaksa menerima transfer ini.”

Seisi kota Firenze meradang. Pendukung yang marah bahkan melampiaskannya lewat aksi-aksi kekerasan di jalanan kota. Bendera-bendera Juventus dibakar dan sekitar 50 orang terluka. Juventus bukan cuma dituduh ‘mencuri’ Scudetto dan Piala UEFA tapi bintang kesayangan mereka.

Tifosi I Viola yang marah sempat menyerbu ke kamp latihan tim nasional Italia di Coverciano, kota kecil dekat Firenze. Sasarannya bukan cuma Baggio, melainkan juga juga Nicola Berti. Setahun sebelumnya, Berti meninggalkan Fiorentina ke Inter Milan.

Tapi, sasaran utama kemarahan publik adalah presiden Fiorentina, Lorenzo Righetti. Ia dipandang tidak becus dan rakus. Akibatnya, Righetti terpaksa menjual sahamnya kepada pengusaha hiburan Mario Cecchi Gori. Sebelum meninggal, sang miliarder kemudian mewariskan jabatan presiden I Viola kepada anaknya, Vittorio.

Ketika Baggio kembali ke Firenze pada musim berikutnya penjagaan terhadapnya begitu ketat. Suasana stadion pun terasa mencekam karena pendukung Fiorentina tampak masih geram.

Puncaknya ketika Juventus mendapat hadiah penalti. Saat itu tuan rumah lebih dulu unggul satu gol lewat eksekusi Diego Fuser. Baggio, spesialis eksekutor penalti Juventus, tiba-tiba menolak jadi algojo. Terang saja, tak cuma penonton, seluruh awak La Vecchia Signora pun kebingungan dibuatnya.

Lalu Gigi De Agostini yang mengambil eksekusi tersebut gagal memanfaatkannya, kemudian Baggio ditarik keluar untuk digantikan pemain lain. Namun saat memasuki ruang ganti, ia mengambil sebuah syal Fiorentina yang dilemparkan ke lapangan oleh fans. Ia lalu menciumnya.

“Jauh di dalam hati saya, saya selalu ungu (warna kebesaran Fiorentina),” ujarnya. Terang saja, ‘kelakuan’ Baggio juga sulit dimaafkan Juventini.

Tapi, Thomas Haesller, rekan setimnya kala itu, memaklumi Baggio. “Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, baru saat itulah saya merasakan bertanding bukan cuma lawan 11 orang. Tapi menghadapi seisi stadion,” kata gelandang asal Jerman itu.

Setelah peristiwa tersebut, Fiorentina mencoba mengatasi kehilangan Baggio dengan membeli penyerang muda asal Argentina yang kemudian jadi simbol kedigdayaan I Viola, Gabriel Omar Batistuta.