JAKARTA - Aksi telanjang untuk menentang suatu kebijakan bukan hal baru. People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) misalnya. LSM asal Amerika Serikat (AS) yang berfokus pada perlindungan terhadap hewan ini jadi pionir aksi telanjang di era kekinian. Aksi nyelenehnya tersebut bisa dibilang berhasil menurunkan tingkat kekerasan terhadap hewan.
Memang PETA bukan yang pertama mempelopori gerakan telanjang di ruang publik. Jauh sebelum itu, tepatnya pada abad ke-11, aktivisme serupa pernah terekam dalam kisah Lady Godiva.
Kisah yang bercampur antara fakta dan fiksi ini menceritakan seorang wanita bangsawan keturunan Anglo-Saxon bernama Lady Godiva yang memiliki suami seorang pejabat keuangan bernama Leofric dari Coventry, Inggris. Meski berstatus sebagai istri pejabat, Lady Godiva terkenal baik karena suka membantu rakyat Conventry yang kesusahan.
Suatu ketika suaminya mendapatkan perintah untuk menaikkan pajak rakyat Conventry. Demi pembangunan kota katanya. Tapi, kenaikkan yang diberlakukan tak masuk akal karena terlalu tinggi. Hukuman pun disiapkan bagi mereka yang tak dapat membayar pajak. Rakyat Conventry menjerit.
Satu-satunya opsi yang paling masuk akal adalah mengadu kepada Lady Godiva. Ia kemudian mendatangi suaminya dan meminta membatalkan kebijakan tersebut. Leofric menolak. Untuk "membungkam" istrinya, Leofric sengaja memberikan syarat yang tidak mungkin diambil oleh istrinya: berkeliling kota naik kuda tanpa busana. Tak dinyana, Godiva justru menyetujuinya.
“Upaya itu dilakukan Lady Godiva supaya pemerintah Coventry berhenti membebani rakyatnya dengan begitu kejam. Lady Godiva siap melaksanakan syarat berkeliling Conventry naik kuda tanpa busana. Mendengar kabar itu, rakyat Coventry berinisiatif untuk tidak keluar dengan menutup semua pintu dan jendela sebagai bentuk penghormatan akan keberaniannya.”
“Karena aksi telanjang Lady Godiva, Coventry akhirnya dibebaskan dari membayar pajak yang tinggi. Menurut beberapa versi legenda, selama melakukan aksi telanjang ternyata seorang pemuda bernama Tom iseng mengintip. Karena kelakuannya Tom mengalami kebutaan. Kemudian meninggal dunia. Setelahnya, muncul istilah popular Peeping Tom (Tom Si Pengintip) bagi mereka yang suka mengintip. Kejadian tersebut membuat lady Godiva dipercaya sebagai orang suci yang mampu membantu orang lewat aksi telanjang,” tulis Brett Lunceford dalam Naked Politics: Nudity, Political Action, and The Rhetoric of the Body (2012).
Mengilhami PETA
Aksi telanjang Lady Godiva dalam kisah tersebut kemudian menginspirasi banyak aktivis di dunia sebagai bentuk perlawanan. PETA jadi salah satu organisasi yang berhasil memeloporinya di era kekinian.
PETA dididiran oleh Ingrid Newkirk dan Alex Pacheco di AS pada 1980. Organisasi ini berdiri sebagai wadah bagi aktivis hewan dunia memperjuangkan hak asasi hewan.
“Para pendiri PETA berusaha memberikan lebih banyak hal yang dapat mereka lakukan kepada orang-orang yang peduli dan memberi mereka cara untuk secara aktif mengubah masyarakat. Mereka ingin mempromosikan pola makan vegan yang sehat dan menunjukkan betapa mudahnya berbelanja tanpa memilih produk kejam terhadap hewan. Mereka ingin memprotes dengan lantang dan di depan umum, menentang kekejaman terhadap hewan dalam segala bentuknya, dan mereka ingin mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di balik dinding laboratorium hewan yang sangat tebal dan kedap suara,” tertulis dalam laman PETA.
Dalam perjuangannya, aksi PETA banyak bermuara dari keperdulian akan kelangsungan hidup hewan-hewan agar tak disakiti. Oleh sebab itu, PETA awalnya muncul menentang adanya hewan dalam tiap pengujian di laboratorium penelitian pemerintah atau swasta. Aksi mereka kemudian berkembang melakukan protes terhadap industri kosmetik dan obat-obat yang secara tradisional masih menggunakan hewan sebagai kelinci percobaan produk mereka.
Tak berhenti sampai situ, PETA turut mengutuk banyaknya produk fashion yang menjadikan bulu hewan sebagai bahan pakaian. Mereka menilai menyakiti hewan –apapun itu-- adalah sebuah tindakan keji yang tak bisa dimaafkan. Bahkan dalam salah satu tagline kampanye kontroversial mereka, PETA menyebut: “To animal, all people are Nazi.” Yang mana, setiap manusia yang menyakiti hewan tak ada bedanya dengan Nazi yang melakukan holocaust terhadap orang Yahudi.
Langkah-langkah kontroversi itu kemudian dibalut dengan memanfaatkan ketelanjangan sebagai sarana melawan. Oleh sebab itu, PETA menjadi organisasi Nirlaba yang paling sering melakukan aksi telanjang. Berkat itu, aksi kampanyenya langsung menjadi atensi dari pemberitaan media di seluruh dunia. Sebab, aksi telanjang yang dilakukan sering kali membuat orang-orang geleng-geleng kepala. Satu sisi memancing kebencian kepada PETA, sisi lain memancing dukungan yang luas.
“Di Jerman dan Spanyol, PETA pernah menggelar aksi demonstrasi yang yang lumayan ekstrem. Para aktivisnya pernah telanjang dada di jalanan sambil dilumuri cairan merah seperti darah. Tidak hanya itu, dengan tagline I'd Rather Go Naked than Wear Fur, para aktivis itu rela tampil telanjang demi menyindir mereka yang masih mau memakai busana dari bulu hewan.”
“Cara teatrikal seperti itu sepertinya tidak cukup dilakukan PETA untuk menentang kekerasan dan penggunaan kulit hewan dalam dunia fashion. Pasalnya, aktivis aktivis PETA seolahi tidak jenuh mengecam para selebritis yang menggunakan anggota tubuh hewan, salah satunya bulu,” ujar Sifah Nur dalam Buah-Buah Keberanian: Kisah-Kisah Inspiratif Para Pemberani yang Mengubah Dunia (2015).
PETA sendiri lalu meluas tak Cuma di AS saja. Melainkan PETA telah melebarkan sayap ke Eropa, Afrika, hingga Asia. Melansir Britanica, aksi ‘nyeleneh’ PETA banyak ditanggapi oleh pemimpin industri kosmetik. Mereka kemudian menghentikan praktik pengujian produk pada hewan. Supaya menjamin kejian serupa tak terjadi, PETA bersama 500 perusahaan kosmetik menandatangani janji jaminan bahwa mereka tidak akan terlibat dalam eksperimen hewan.
Tak pelak, aksi PETA menyelamatkan hewan mendapatkan dukungan dari pesohor dunia. Antara lain Keanu Reaves, Ariana Grande, Morrissey, dan lain sebagainya. Dalam pada itu, lewat aksi telanjang, para aktivis PETA sukses menyebarkan ‘virus’ positif untuk menyelamatkan hewan-hewan yang ada di seluruh dunia, setidaknya hingga hari ini.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.