Bagikan:

JAKARTA - Pada 3 Agustus 2000, Presiden Soeharto resmi menjadi tersangka kasus dugaan penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya. Soeharto dinyatakan sebagai terdakwa bersamaan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Saat itu, tim penyidik yang terdiri dari Agus Sutoto, Umbu Lagelozara, Suriansyah, dan Patuan Siahaan datang ke kediaman Soeharto di Jalan Cendana 8 Jakarta Pusat. Kapuspenkum Kejagung, Yushar Yahya; Direktur Penuntutan Kejagung, Mochtar Arifin; Asisten Pidana Khusus Kajati, Andi Syarifuddin; Kajari Jaksel Barman Zahir juga ikut mendampingi.

Mengutip Hukum Online, Kejaksaan Agung sebelumnya telah mengirim surat pemberitahuan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Soeharto melalui tim penasihat hukumnya. Tim penyidik datang ke kediaman Soeharto untuk menyerahkan barang bukti dan tersangka dari penyidik ke penuntut umum yang diwakili oleh Mochtar Arifin dan Andi Syarifudin.

Kasus penyalahgunaan dana oleh Soeharto melibatkan 7 yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Tidak berkesudahan Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini mengimbau para pengusaha menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.

Sejak 1 September 1998, Kejaksaan Agung telah menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto. Hal tersebut terlihat dari anggaran dasar yayasan-yayasan tersebut. Meski demikian, Soeharto terus mengelak, Ia mengatakan bahwa "tidak punya uang satu sen pun." 

Meski demikian, pengusutan terus dilakukan. Pada Desember 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto. Sebelumnya, Habibie mengusulkan untuk membentuk komisi independen mengusut harta Soeharto. Tapi usulan ini tak diindahkan. 

Menurut laporan Jaksa Agung Andi M. Ghalib yang disampaikan di depan Komisi I DPR, hasil pengusutan atas tujuh yayasan Soeharto, sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp4,014 triliun. Selain itu, Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp24 miliar dan Rp23 miliar yang tersimpan di rekening BCA dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana. 

Terdapat dana sebesar Rp400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara 1996 dan 1998 yang berasal dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Haryono Suyono, juga terlibat dalam penyalahgunaan dana tersebut dengan mengalihkan dana untuk yayasan Soeharto. 

Namun pada 11 Oktober 1999, Pemerintah Indonesia menganggap tuduhan korupsi Soeharto tidak terbukti. Kejaksaan Agung lalu mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah. 

Soeharto dan Ibu Tien (Sumber: Wikimedia Commons)

Kasus kembali dibuka

Hanya selang dua bulan atau tepatnya 6 Desember 1999, Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto. Jaksa Agung yang baru, Marzuki Darusman, juga mencabut SP3 Soeharto. 

Berbagai pemeriksaan dan penelusuran terhadap Soeharto dan berbagai pihak yang terlibat dilakukan. Pemanggilan terhadap Soeharto juga terus dilakukan namun tidak kunjung terjadi dengan alasan kesehatan Soeharto yang menurun. Hingga akhirnya Soeharto dijadikan tahanan kota dan pada 3 Agustus 2000 Soeharto dinyatakan sebagai tersangka kasus dugaan penyalahgunaan yayasan. 

Agenda persidangan pun dijadwalkan. Pertama pada 31 Agustus 2000, namun Soeharto tak hadir lantaran sakit. Sidang kemudian diundur pada 14 September 2000. Dan lagi-lagi Presiden Kedua RI tersebut tak hadir dengan alasan serupa. Hingga akhirnya pada 28 September 2000, Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana terhadap Soeharto tak dapat diterima dan sidang dihentikan. 

Diketahui bahwa tak ada jaminan Soeharto hadir ke persidangan karena alasan kesehatan. Ia juga dibebaskan dari tahanan kota dan kasus ini menguap begitu saja sampai detik ini. 

Bantuan Swiss

Pemerintah Swiss sempat menawarkan bantuan untuk mengusut kekayaan Soeharto yang tersimpan di luar negeri. Namun tetap saja hal itu tak berjalan lancar. 

Pada 2003, Pemerintah Indonesia menyatakan adanya kesulitan untuk melacak harta Soeharto di Swiss. Hal tersebut dikarenakan persyaratan yang diajukan pemerintah Swiss memberatkan pemerintah Indonesia. 

"Pada prinsipnya, kita menerima baik adanya penawaran dari pemerintah Swiss untuk membantu pelacakan harta itu. Tapi syarat yang diajukan terlalu berat dan tidak mudah bagi kita," kata Jaksa Agung Marzuki Darusman, mengutip Tempo

Marzuki menjelaskan, pemerintah Swiss meminta agar pemerintah Indonesia memberikan rekening yang dimiliki Soeharto dan para sahabatnya. Hal tersebut membingungkan, mengingat nomor rekening tersebut berada di Swiss, yang mana seharusnya Pemerintah Swiss yang lebih tahu. 

*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

SEJARAH HARI INI Lainnya