Bagikan:

JAKARTA - Nama Gayus Halomoan Tambunan pernah menggemparkan seisi Indonesia. Pegawai golongan IIIA Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu dianggap mencoreng institusi keuangan dan hukum Indonesia.

Laku hidup itu karena Gayus dijerat dengan banyak dakwaan sekaligus, dari korupsi pajak hingga menyuap hakim. Rangkaian kesalahan itu justru tak membuat Gayus legawa. Ia justru menganggap dirinya juru selamat ekonomi Indonesia. Gayus mengaku telah berjasa bagi negara.

Isu praktek korupsi di Dirjen pajak bukan barang baru. Dirjen telah ditandai khalayak umum jadi salah satu tempat korupsi tumbuh subur. Asumsi itu kian nyaring terdengar seiring naiknnya nama seorang pegawai Golongan IIIA Direktorat Pajak yang memiliki tabungan bejibun pada 2010.

Gayus Tambunan, namanya. Kerja keras Gayus sebagai pegawai pajak sesungguhnya hanya diganjar gaji sekitar Rp12,1 juta per bulan, atau Rp145,2 juta setahun. Namun, Gayus mampu melampau pendapatannya sebagai pegawai pajak dengan menyalagunakan wewenang jadi mafia pajak.

Dalam status sebagai narapidana, Gayus Tambunan bisa bebas menonton tenis di Bali pada 2010 karena dia menyuap aparat hukum. (Dok. Kompas)

Gayus mampu mendapatkan insentif hingga Rp100 miliar kala berperan sebagai mafia pajak. Suatu pendapatan yang takkan mungkin didapat oleh seorang pegawai pajak Golongan IIIA tanpa jalur korupsi. Gayus pun terjerat dengan banyak dakwaan sekaligus. Antara lain gratifikasi, penyuapan, dan pencucian uang.

Gayus segera ditangkap dan ditindak. Segenap rakyat Indonesia pun lega karena penegak hukum segera memproses kasus gayus. Jauh panggang dari api. Gayus justru dielu-elukan hidup enak di penjara. Bak hukum dapat dibeli oleh Gayus.

Narasi itu mengemuka karena Gayus bebas keluar masuk penjara. Bahkan, Gayus sampai dapat menonton pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010 di Bali. Fakta itu jadi bukti bahwa Gayus mampu menyuap penegak hukum.

Deretan kasus itu membuat institusi pajak dan penegakan hukum Indonesia jatuh pada level terendah. Sebab, segala macam ambisi pemerintah memutus mata rantai korupsi terlihat bak omong kosong oleh khalayak umum.

“Demi tegaknya rasa keadilan bagi masyarakat, polisi harus cepat mengungkapkan pengakuan Gayus. Bila benar ia mempunyai logam mulia dan emas lantakan, dengan nilai Rp74 miliar, yang disimpan di Singapura, tentu jumlah uang yang ia terima dari "klien"nya jauh lebih besar daripada yang diakui sebelumnya. Ini belum termasuk Rp25 miliar yang sebelumnya ditemukan di rekening Gayus dan sudah diblokir. Dari pengungkapan kasus ini akan diketahui jaringan 'mafia' pajak di tempat Gayus bekerja, bila kita yakin pegawai negeri golongan IIIA ini tidak bekerja sendiri.”

“Kasus ini juga merupakan ‘tamparan’ bagi Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan-kementerian yang sudah melakukan reformasi birokrasi dan memperbaiki gaji serta remunerasi. Kementerian itu juga dituntut publik memastikan bahwa kasus Gayus bukanlah kebiasaan para petugas pajak pada umumnya. Kementerian Keuangan dan Dirjen Pajak perlu memeriksa semua aparatnya, dan menjamin reformasi birokrasi di kementerian itu bukan merupakan program yang sia-sia,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Mengusut Asal Muasal Duit Gayus (2010).

Mengaku Berjasa ke Negara

Gayus bak ugal-ugalan mempermainkan hukum Indonesia. Semuanya coba ditarabas. Bahkan, Gayus ingin hukuman tujuh tahun penjara yang sudah dijatuhkan kepadanya Januari 2010, ditinjau kembali dalam pengadilan banding. Gayus menganggap kejahatan yang dilakukannya tak seberapa, dibanding jasanya ke negara.

Asumsi itu diungkap pengacara Gayus, Hotma Sitompul di Rutan Cipinang pada 3 Februari 2011. Hotma menyebut kliennya justru berperan besar menjaga keuangan negara. Tindak tanduk Gayus bak ‘kuasa hukum’ Direktorat Pajak yang melawan perusahaan yang terbelit pajak di pengadilan banding jadi bukti.

Hotma mencontohkan kala ada perusahaan yang terkena perkara pajak Rp10 miliar. Namun, karena Gayus, perusahaan itu dapat ditelusuri dan membayar pajak hingga mencapai Rp100 miliar. Gayus berperan besar dalam mengawal perusahaan-perusahaan itu supaya pajaknya segera masuk negara.

Milana Angraini, istri terdakwa kasus mafia pajak Gayus Tambunan, hadir untuk pertama kalinya dalam sidang lanjutan terdakwa mantan Kepala Pengadilan Negeri Tangerang Muhtadi Asnun, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (2/9/2010). Milana menjadi saksi seputar kasus suap yang diberikan suaminya Gayus kepada Asnun. (Antara/Yudhi Mahatma)

Narasi itu membuat Hotma kian yakin dalam membela kliennya ke pengadilan banding. Semua itu dilakukan karena Gayus merasa bahwa ia memiliki jasa besar bagi bangsa dan negara. Sekalipun klaim itu dianggap terlalu mengada-ngada oleh khalayak umum.

“Gayus membela Ditjen Pajak di pengadilan banding dengan mempertahankan ketetapan pajak. Dalam praktik, ada yang kalah dan ada yang menang, tergantung putusan hakim. Yang pasti Gayus selama ini bertindak untuk menyelamatkan keuangan negara dengan mempertahankan SPT Dirjen Pajak.”

“Gayus, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, membela Ditjen Pajak melawan perusahaan-perusahaan tersebut di pengadilan banding," imbuh pengacara Gayus Tambunan, Hotma Sitompul sebagaimana dikutip laman Tribunnews, 4 Februari 2011.