Bagikan:

JAKARTA - Tindakan koruptif yang diduga melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengundang keprihatinan yang mendalam. Pasalnya, ditengah rendahnya sektor pendapatan negara akibat terdampak pandemi, masih ada oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk kekayaan pribadi.

Dugaan suap yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak ini sangat melukai perasaan pegawai DJP dan Kementerian Keuangan di seluruh Indonesia yang bekerja sungguh-sungguh mengumpulkan penerimaan negara. Terlebih dalam kondisi pelemahan ekonomi sekarang ini dimana tantangan mengumpulkan penerimaan pajak sangat berat,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menggelar konferensi pers secara virtual, Rabu, 3 Maret.

Menkeu Sri Mulyani menambahkan, bahwa seluruh individu yang ada di Kementerian Keuangan harus memegang teguh pada prinsip-prinsip integritas dan profesionalitas dalam bekerja.

“Apabila dugaan tersebut terbukti, maka ini merupakan suatu pengkhianatan bagi upaya seluruh jajaran yang tengah berfokus untuk melakukan pengumpulan penerimaan negara,” tuturnya.

Untuk diketahui, dugaan suap yang diterima oleh oknum pegawai Ditjen Pajak terjadi atas laporan masyarakat pada awal 2020 lalu. Dari informasi itu, Kementerian Keuangan lalu mengambil langkah cepat dengan mengoptimalkan fungsi unit kepatuhan internal.

Tidak hanya itu, Kemenkeu disebut Sri Mulyani juga menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna mengusut secara tuntas kasus penyuapan ini.

“Kami tidak mentoleransi terhadap tindakan tindakan korupsi serta pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh seluruh atau oleh siapapun di lingkungan pegawai Kementerian Keuangan,” tegasnya.

Oknum penerima suap dipecat

Sri Mulyani memastikan bahwa oknum pegawai Direktorat Jenderal  (Ditjen) Pajak yang diduga menerima suap telah berstatus nonaktif.

“Terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang oleh KPK diduga terlibat di dalam praktik suap telah dilakukan pembebasan tugas dari jabatannya,” kata dia.

Menkeu Sri Mulyani menambahkan, langkah tersebut merupakan sikap tegas atas perbuatan tidak terpuji oknum pegawai yang mencoreng nama institusi. Selain itu, pemecatan juga dimaksudkan agar proses hukum yang kini dijalani dapat berproses sesuai dengan ketetapan yang berlaku.

“Agar memudahkan proses penyidikan oleh KPK, yang bersangkutan telah mengundurkan diri dan sedang diproses dari sisi administrasi ASN (aparatur sipil negara),” tegasnya.

Peringatan keras kepada konsultan pajak dan wajib pajak lain

“Dalam kesempatan ini saya sebagai Menteri Keuangan meminta kepada seluruh wajib pajak (WP) juga kuasa wajib pajak serta konsultan pajak agar ikut menjaga integritas dari Direktorat Jenderal Pajak dengan tidak menjanjikan atau berupaya memberikan imbalan atau hadiah atau sogokan kepada pegawai,” katanya.

Sri Mulyani menambahkan, efek domino dari perbuatan suap tidak hanya merusak kredibilitas institusi namun juga berpotensi menjalar hingga cakupan yang lebih besar.

“Upaya (suap) yang dilakukan seperti itu merusak tidak hanya Direktorat Jenderal Pajak atau individu tetapi juga merusak pondasi negara kita,” tegasnya.

Kasus Gayus Tambunan jilid II

Dugaan penyuapan kepada oknum pegawai pajak membawa memori publik terhadap peristiwa serupa yang pernah terjadi pada kisaran 2010 silam. Kala itu, Gayus Halomoan Partahanan Tambunan alias Gayus Tambunan menjadi lakon utamanya.

Dia adalah mantan pegawai negeri sipil (PNS) DJP Kementerian Keuangan. Gayus dikenal ketika Komjen (Pol) Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus menyimpan uang Rp25 miliar di rekening banknya, plus uang asing senilai Rp60 miliar dan perhiasan senilai Rp14 miliar di brankas bank atas nama istrinya yang kesemuanya dicurigai sebagai harta haram.

Dalam perkembangan selanjutnya, Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura.

Kasus Gayus mencoreng proses reformasi perpajakan di Kementerian Keuangan yang saat itu gencar digulirkan Sri Mulyani dan sekaligus menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia.

Hebatnya, lulusan program diploma tiga dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tahun ajaran 2000 itu diketahui berada di Bali pada 5 November 2010 menonton pertandingan tenis Commonwealth World Championship saat seharusnya dia berada di dalam sel.

Gayus sendiri mengakui keberadaannya di Bali pada tanggal tersebut pada persidangan pada 15 November 2010.

Realisasi penerimaan pajak

Ironi kepengurusan uang rakyat yang ditampilkan panggung perpajakan kali ini nampaknya bakal bergulir panjang. Sebab, Sri Mulyani dikenal tidak memiliki belas kasih kepada siapa saja yang menyelewengkan duit negara. Proses hukum adalah harga mati baginya.

Sikap tanpa tedeng aling-aling birokrat kelahiran Bandar Lampung 58 tahun lalu itu cukup beralasan. Pasalnya, perkara kepengelolaan seluruh uang negara ada di tangannya.

Bahkan, Sri Mulyani dengan jabatannya kerap mendapat tudingan pertama jika pemerintah membuka skema pembiayaan APBN. Padahal keputusan tersebut diambil  untuk memastikan kegiatan bernegara dapat terselenggara dengan baik.

Dalam konferensi pers APBN Kita secara virtual pada Selasa 23 Februari, Menkeu menyebut realisasi penerimaan pajak periode Januari 2021 terkontraksi minus 15,3 persen year-on-year. Secara nominal, baru terkumpul Rp68,5 triliun atau 5,6 persen dari target sepanjang tahun yang sebesar Rp1.229,6 triliun.

Sebagai pembanding, untuk Januari 2020 tercatat senilai Rp80,8 triliun atau 6,7 persen terhadap target di tahun tersebut.

Secara keseluruhan, pos pendapatan sampai dengan Januari 2021 sebesar Rp100,1 triliun atau anjlok hingga minus 4,8 persen dibandingkan dengan raihan periode yang sama 2020 sebesar Rp105,1 triliun.

Sisi pemasukan yang cukup minim dibandingkan dengan belanja yang cukup besar menjadikan pemerintah memutar otak untuk menambal defisit anggaran. Opsi merilis surat utang dan pembaharuan regulasi investasi menjadi solusi yang kini ditempuh negara.

Jadi, adalah hal yang sangat bisa dimengerti apabila Sri Mulyani geram dan menyebut oknum penilep uang rakyat di masa pandemi sebagai penghianat.