Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Myanmar tak pernah memandang istimewa etnis Rohingya. Bahkan, etnis Rohingya tak diakui sebagai etnis yang terdaftar di Myanmar. Orang Rohingya hanya dianggap warga liar – jika tak boleh dikatakan pengganggu. Kondisi itu membuat sentimen ras terbuka lebar.

Junta militer mulai melakukan genosida dan pengusiran terhadap orang Rohingya di Myanmar pada 2017. Kondisi itu membuat pengungsi Rohingya menyebar ke banyak negara. Malaysia pun jadi salah satu di antaranya. Negeri Jiran itu dianggap bak tempat memulai hidup baru dan layak.

Kemerdekaan suatu negara sudah sepatutnya dirayakan dengan penuh suka cita. Pekikan kemerdekaan dianggap jadi ajian baru menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Narasi itu diamani oleh rakyat Myanmar kala negara itu merdeka pada 1948.

Namun, tak semuanya merayakan kemerdekaan. Kondisi itu justru tak dirasakan oleh etnis Rohingya. Kelompok etnis yang sejak dulu kala sudah menetap dan beranak pinak di Arakan, Rakhine, Myanmar justru tak diakui oleh negara. Alias, orang Rohingya tak diakui sebagai etnis dan warga negara Myanmar.

Kondisi itu membuat hak-hak dasar serta politik orang Rohingya tak diakui. Pemerintah pun secara resmi menyatakan Rohingya non-national pada 1982. Pemberian label tersebut jadi nestapa terbesar bagi orang Rohingya.

Aktivitas warga etnis Rohingya di Myanmar sangat dibatasi. Bahkan untuk berdagang, mereka hanya boleh berdagang antar sesama etnis Rohingya. (BBC Indonesia)

Ketiadaan pengakuan itu membuat sentimen ras terbuka lebar. Kecemburuan sosial karena orang Rohingya memiliki kehidupan yang lebih baik kian meninggi. Etnis Burma yang beragama Buddha dan jadi etnis mayoritas kerap merasa terganggu. Isu dan provokasi bahwa agama Islam akan mengganggu agama Buddha pun dimainkan.

Letupan konflik pun terjadi. Tuduhan orang Rohingya melakukan kejahatan sering kali terdengar, padahal belum tentu kejadian. Apalagi, memasuki tahun 2013. Konflik itu membuat orang Rohingya mulai berpikir untuk mengungsi ke berbagai macam negara. Malaysia pun jadi negara tujuannya pada 2013. Semuanya karena nyawa orang Rohingya mulai terancam.

“Bagi para pengungsi dari Myanmar yang telah mencapai Malaysia, kehidupan mereka mungkin lebih baik dibandingkan dengan marginalisasi dan penganiayaan yang mereka alami. Namun bahkan di sini, kemiskinan dan keterpinggiran mengancam hilangnya suara mereka dalam menentukan masa depan mereka sendiri.”

“Kapal-kapal migran Rohingya yang mendarat di Malaysia dalam keadaan putus asa dan kelelahan bulan lalu bergabung dengan sekitar 75 ribu orang Rohingya yang melakukan perjalanan ke Malaysia. Dilihat dari kesulitan yang dihadapi oleh para pendahulu mereka, akan sulit bagi gelombang pengungsi terbaru ini untuk mendapatkan pijakan yang aman atau mencapai hidup layak kembali di tempat lain,” ungkap Chris Buckley dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Even in Safety of Malaysia, Rohingya Migrants Face Bleak Prospects (2015).

Rohingya di Malaysia

Arus pengungsi Rohingya keluar dari Myanmar kian banyak pada 2017. Pemicunya karena pemerintah Myanmar menganggap Tentara Penyelamat Arakan Rohingya (ARSA) yang ingin Rakhine merdeka telah menyerang lebih dulu.

Penyerangan ARSA dianggap sebagai dalil utama pemerintah Myanmar melakukan genosida dan pengusiran orang Rohingya. Kondisi itu membuat pengungsi Rohingya mulai memantap langkah untuk mengungsi ke Malaysia, dibanding menetap di kamp pengungsian di Bangladesh yang serba sulit.

Pengungsi Rohingya tak lagi memedulikan harta benda. Risiko apapun mereka hadapi supaya dapat menuju Malaysia. Jasa penyelundup kadang kala jadi pilihan utama. Penyelundup meminta upah besar untuk menyelundupkan pengungsi.

Pengungsi etnis Rohingya berada di atas kapal KM Nelayan 2017.811 milik nelayan Indonesia di pesisir Pantai Seunuddon. Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, Aceh, Rabu (24/6/2020). (Antara/Rahmad)

Kendaraan yang digunakan untuk penyelundupan pun beragam. Kadang naik truk, naik kapal, kadang pula berjalan kaki. Intinya pengungsi dapat sampai ke Malaysia. Sekalipun, dalam perjalanan banyak didapatkan fakta bahwa pengungsi justru banyak yang meninggal dunia, diperkosa, hingga dipukuli penyelundup.

Nestapa tak lantas berakhir kala sampai ke Malaysia. Para pengungsi harus menerima fakta bahwa mereka tak dapat langsung hidup berbaur dengan warga Malaysia. Mereka ditempatkan dalam kamp dan tak diperbolehkan bekerja dan memperoleh pendidikan. Alhasil, mereka hidup serba terbatas.

Kondisi itu dianggap pengungsi tak memiliki kepastian masa depan. Semuanya karena Malaysia sama dengan Indonesia. Kedua negara tak meratifikasi Konvensi pengungsi tahun 1951 dan protokol 1967. Jikalau ada perhatian untuk pengungsi semuanya berdasarkan asas kemanusiaan saja, tak lebih. Malaysia hanya menyediakan penampungan sementara, bukan selamanya.

Gejolak sosial pun hadir. Banyak di antara pengungsi memilih kabur dari kamp pengungsian. Kejadian itu terus berulang. Aksi kabur itu mengganggu keamanan setempat. Pelarangan penerimaan pengungsi pun sempat dilakukan pemerintah karena pangungsi sering kali kabur.

“Banyak negara di Asia Tenggara tak punya kebijakan yang jelas dalam penanganan pengungsi, termasuk di bidang pendidikan dan kesehatan. Negara seperti Indonesia dan Malaysia menggolongkan mereka sebagai pendatang ilegal sehingga dapat dipidana. Bahkan, dalam beberapa kasus, nelayan Aceh yang menyelamatkan kapal pengungsi Rohingya yang karam malah dipidana,” terang Iwan Kurniawan dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Nasib Pengungsi Rohingya di ASEAN (2023).