Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 82 tahun yang lalu, 14 Desember 1941, Jepang dan Thailand menandatangi perjanjian kerja sama untuk jadi sekutu dalam Perang Pasifik. Perjanjian itu membuat Thailand ikut membantu Jepang menumpas kekuatan kolonial di kawasan Asia Tenggara.

Sebelumnya, Jepang pernah jadi simbol kebangkitan Asia. Kemajuan ekonomi dan modernisasi kekuatan militer jadi muaranya. Kekuatan itu bukan pepesan kosong belaka. Jepang pun berani menantang penjajah kolonial barat di Asia.

Narasi simbol kebangkitan Asia pernah disematkan kepada Jepang. Negeri Matahari Terbit itu telah bekerja keras membangun segalanya. Dari ekonomi hingga armada perang mempuni. Gabungan kekuatan itu dianggap ampuh menantang banyak negara di dunia.

Jepang pun mencoba menginvasi China pada 1894. Hasilnya Jepang berhasil menduduki beberapa wilayah China. Rencana invasi lainnya mulai digelorakan. Namun, keinginan itu tak mudah. Jepang melihat Amerika Serikat (AS) jadi penganggu nomor satu rencana Jepang menyatukan Asia.

Jepang pun berinsiatif menyerang pangkalan militer AS terkuat di Pearl Harbour, Hawaii. Rencana itu dimatangkan oleh Jepang. Stategi disiapkan. Begitu pula dengan mental. Pasukan Jepang tak gentar melawan pasukan Negeri Paman Sam.

Potret kerusakan yang diakibatkan serangan Jepang ke Pearl Harbour, Hawaii. (Wikimedia Commons)

Pucuk dicinta ulam tiba. Serangan mendadak Jepang mulai dilanggengkan ke Pearl Harbour pada 7 Desember 1941. Serangan itu membuat seisi AS larut dalam duka. Jepang berhasil merusak hampir 300 pesawat terbang, 20 kapal Angkatan Laut, hingga ribuan orang tewas.

Serangan Pearl Harbour membuat tingkat percaya diri Negeri Matahari Terbit meningkat. Kondisi itu juga membuat AS berang. Mereka pun mengumandangkan perang terhadap Jepang.  

“Untuk membangun suatu imperium di Asia, Jepang telah meletuskan Perang Pasifik. Armada AS terkuat di Pasifik yang berpangkalan di Pearl Harbour, Hawaii merupakan penghalang besar ambisi Jepang memiliki industri di negara-negara selatan.”

“Laksamana Isoroku Yamamoto menyusun rencana serangan rahasia untuk menghancurkan armada AS bulan September 1941, armada Laksamana Noihi Naguno yang diangkat sebagai panglima operasi bergerak dari Kepulauan Kuril. Dengan kekuatan puluhan kapal perang yang terdiri dari kapal induk, kapal selam, dan kapal tanker, armada Noihi Naguno berlayar ke arah timur menyeberangi lautan Pasifik melalui pelayaran yang tak biasa dilayari kapal-kapal,” ungkap Peter Kasenda dalam buku Soekarno di Bawah Bendera Jepang 1942-1945 (2015).

Nyali pasukan Jepang pun meningkat. Mereka mulai melanggengkan stategi menyelamatkan Asia Tenggara (strategi menjajah ala Jepang) dari kekuatan kolonial. Satu demi satu wilayah Asia Tenggara pun di Invasi.

Pasukan Jepang ditarik mundur dari Bangkok, Thailand pada 1945 sebagai tawanan perang setelah kalah dari Sekutu dalam Perang Dunia II. (Wikimedia Commons)

Thailand, misalnya. Negeri Gajah Putih turut diinvasi oleh Jepang. Mereka ingin menguasai Thailand demi kepentingan perang dan membuka jalan untuk menguasai wilayah lainnya. Alih-alih meneruskan serangan, Jepang justru memilih bekerja sama dengan penguasa Thailand.

Kedua kemudian menandatangani perjanjian rahasia yang berlangsung pada 14 Desember 1941. Suatu perjanjian yang membuat kedua negara jadi sekutu. Pun kemudian Thailand mendukung penuh rencana invasi Jepang ke pelosok negeri, termasuk Malaya (kini: Malaysia) hingga Hindia Belanda (kini: Indonesia).

“Dalam rencana persiapan perangnya, Jepang akan melakukan penyerangan secara simultan dalam berapa hal pada suatu saat, antara lain invasi amfibi terhadap jajahan Inggris di Malaya dan Kepulauan Filipina yang dimiliki AS. Kelak, dari basis-basis atau pangkalan di Malaya dan Filipina itu Jepang akan memperolah Hindia Belanda dengan mudah, dalam arti tanpa perlawanan yang berarti.”

“Dalam waktu yang sama, kesatuan-kesatuan Angkatan Darat, akan menduduki negara netral yang lemah Thailand dalam persiapannya untuk invasi Burma, sedangkan kesatuan AD dan AL yang kecil akan menduduki koloni Inggris di Hong Kong dan Pulau Guam dan Wake milik AS,” tertulis dalam laporan Majalah Dharmasena berjudul Kekuatan Udara Jepang Menguasai Lautan (1988).