Bagikan:

JAKARTA - Perayaan Imlek di Indonesia adalah salah satu bentuk kebebasan. Di era kekinian, setiap etnis China di Nusantara berhak merayakan Imlek dengan semarak dan penuh suka cita. Dulu kala, Imlek sempat dilarang di muka umum. Soeharto jadi aktor di balik pelarangan Imlek pada 1967. Kemudian, Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) jadi “juru selamat” yang melanggengkan perayaan imlek, setidaknya sampai hari ini.

Di era Soeharto, seluruh upacara agama dan adat istiadat orang China turut dilarang. Menarik jauh ke belakang, sejak masa kolonial, hubungan pemerintah kolonial Belanda dengan etnis China digambarkan cukup aneh.

Di satu sisi mereka berseberangan. Di sisi lain mereka tetap tarik-menarik. Jikalau keduanya –Kompeni dan etnis China— tak bekerja sama, denyut ekonomi di Hindia-Belanda takkan berdetak. Sampai-sampai Serawan Leonard Blusse menyebut Batavia (Jakarta) sebagai kota koloni China, di mana tanpa orang China, kompeni mungkin tak bisa hidup.

Dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda Di Batavia VOC (1988), Blusse menulis hubungan itu. Menurutnya, tiap denyut nadi perekonomian di Nusantara, utamanya Batavia ada peranan penting orang China.

Kaum Tionghoa di Batavia (Sumber: Commons Wikimedia)

Mereka merupakan perintis banyak hal. Mereka dapat memainkan banyak peranan, baik itu sebagai kuli, pedagang perantara, pembayar pajak, tukang batu, serta penghubung perdagangan antara Tiongkok dan Hindia-Belanda (Indonesia).

Perlahan, meski memakan waktu bertahun-tahun setelah peristiwa geger pacinan tahun 1740, orang China dan orang Belanda hidup bersama kembali. Sebagaimana pernah kami jelaskan lewat artikel "Geger Pacinan 1740: Banjir Darah Orang Tionghoa di Batavia", peristiwa itu meninggalkan luka besar di kalangan orang Tionghoa di Nusantara.

Meski begitu, sebagaimana dijelaskan Blusse, dua pihak akhirnya bisa kembali berdamai. Maka, wajar jika Blusse menyebut keduanya sebagai “sekutu yang aneh.”

Narasi sekutu yang aneh berlanjut pula selepas Indonesia merdeka. Pada masa pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno kehadiran etnis China di Indonesia adalah kisah lika-liku yang seperti digambarkan oleh Blusse.

Keduanya –pemerintah dan etnis China-- serupa hubungan cinta dan benci. Di satu pihak mereka dibutuhkan perannya dalam bidang ekonomi. Di pihak lainnya, keterwakilan mereka dalam perpolitikkan Indonesia tak begitu banyak.

Soeharto larang Imlek

Masuk ke masa kekuasaan Orde Baru (Orba), etnis China tak diakui sebagai suku bangsa dan dikategorikan sebagai non-bumiputra. Tuntutan mengasimilasi diri dengan suku-suku mayoritas dijadikan opsi utama yang ditawarkan oleh pemerintahan Orba.

Semua itu karena Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14/1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat China hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruang tertutup.

Alhasil, misal seorang China tinggal di Jakarta, maka mereka harus mampu membiasakan diri menjadi orang Betawi. Dikutip dari Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), keputusan itu dinilai masih cukup baik. Sebab, awalnya Soeharto justru ingin melarang hal berbau China secara total. Niat itu pun urung.

Ilustrasi foto perayaan Imlek (Sumber: Commons Wikimedia)

Atas instruksi itu, seluruh perayaan tradisi keagamaan etnis Tionghoa, termasuk Imlek, Capgomeh, Pehcun, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Dimikian pula dengan tarian-tarian barongsai (tarian singa) dan lang-liong (tarian naga) dilarang dipertunjukkan. Bahkan pelarangan juga menyangkut pemakaian aksara China, hingga lagu-lagu berbahasa Mandarin ikut lenyap dari siaran radio.

“Dengan demikian ethnic cleansing atas Tionghoa tidak hanya dalam pengertian fisik, tetapi juga pemusnahan segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk kebudayaan dan tradisi agamanya,” tulis Tomy Su dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul Pasang Surut Tahun Baru Imlek (2005).

Untuk itu, selama bertahun-tahun, minoritas China begitu merana. Imbasnya, instruksi juga mulai mengganti sebutan “Tionghoa” dan mulai kembali berganti “Cina.” Boleh jadi rezim Orba beranggapan semua kebijakan demi proses asimilasi etnis. Namun, pada pelaksanaannya kebijakan itu terlihat ingin menghapus golongan etnis China sebagai golongan kebudayaan yang berciri khas.

“Bahasa, aksara, kesenian, busana Cina dilarang atau minimal tidak diperbolehkan. Meski ada kekecualian yang tidak dilarang, misalnya makanan, cerita, dan film silat Cina. Di masa Orba, perayaan hari raya Imlek praktis dilarang atau minimal tidak dibenarkan, meski diam-diam secara internal masih dirayakan di kalangan warga keturunan Cina,” tulis Jaya Suprana dalam buku Bercak-Bercak Harapan (2018).

Gus Dur izinkan Imlek

Presiden RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (Sumber: Commons Wikimedia)

Titik terang bagi kehidupan etnis China yang serba dibatasi berakhir setelah Gus Dur menggantikan B.J. Habibie menjadi Presiden RI ke-4. Bapak pluralisme yang dikenal berani dan konsisten membela hak-hak kaum minoritas itu jadi juru selamat.

Berkatnya, etnis China diperbolehkan kembali merayakan Imlek di muka umum pertama kali pada 17 Januari 2000. Langkah itu kemudian dikenal sebagai bentuk menghargai kaum minoritas dalam bingkai pelaksanaan falsafah: Bhinneka Tunggal Ika.

Lantas, Imlek resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional. Gus Dur pun tak mempermasalahkan kembali mana bumiputra dan nonbumiputra. Ia beranggapan tak ada yang namanya keturunan masyarakat asli di Indonesia.

Hal itu diungkapnya karena Indonesia dibentuk oleh perpaduan tiga ras, yakni Melayu, Astro-melanesia, dan China. Cucu dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama itu dengan sendirinya lalu mengakui bahwa ia sendiri merupakan keturunan blasteran Cina dan Arab.

“Di masa kepresidenan Gus Dur, Konghucu diakui sebagai agama dan Imiek menjadi hari libur nasional. Dialah presiden dan ulama pertama yang meminta maaf atas kekerasan antikomunis pada 1965. Dia pula yang mengembalikan nama Papua, yang selama Orde Baru disebut sebagai Irian Jaya, dan tak melarang pengibaran bendera Bintang Kejora milik rakyat Papua,” tutup Wahyu Muryadi dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Sang Pendobrak Dari Tebuireng (2010).

MEMORI Lainnya