Dalam Setahun, Trump Hadapi Dua Kali Pemakzulan
Donald Trump - Wikimedia Commons

Bagikan:

JAKARTA - Pada Rabu 13 Januari, DPR Amerika Serikat (AS) mengetuk palu untuk memakzulkan Presiden AS Donald Trump. Pemakzulan tersebut dilakukan atas kecaman perannya yang memicu penyerbuan Gedung Capitol pada Rabu 6 Januari 2021. Para perusuh yang merupakan pro-Trump membuat para anggota parlemen meninggalkan ruangan saat prosesi sertifikasi kemenangan Joe Biden saat itu.

Sepuluh anggota Partai Republik bergabung dengan Partai Demokrat untuk memilih pemakzulan Trump. Perlu diingat bahwa pemakzulan ini adalah yang kedua bagi Trump. Oleh sebab itu, ini pertama kalinya dalam sejarah AS seorang presiden telah dimakzulkan dua kali.

Setahun lalu, tepatnya pada 16 Januari 2020, Trump dimakzulkan. Dua pasal pemakzulan diserahkan ke Senat oleh DPR AS. Saat itu sidang pemakzulan Trump dijadwalkan pada Selasa 21 Januari 2020. 

Seperti yang diberitakan VOI sebelumnya, pasal pemakzulan presiden ke-45 itu ditandatangani langsung oleh Ketua DPR AS Nancy Pelosi. Menariknya saat proses penandatangan itu, Pelosi menggunakan banyak pulpen. Jumlah alat tulis yang digunakan Pelosi untuk menandatangani pasal pemakzulan Trump bahkan sampai tiga nampan. 

Saat itu, pemakzulan dilakukan karena Trump diyakini menyalahgunakan kekuasaannya sebagai presiden. Trump dituduh menahan bantuan militer sebagai cara untuk menekan Presiden Ukraina yang baru terpilih, Volodymyr Zelensky, untuk melanjutkan penyelidikan terhadap Joe Biden dan putranya Hunter. Trump juga memaksa untuk mengadakan penyelidikan teori bahwa Ukraina campur tangan pada Pemilu 2016. 

Seperti disebutkan sebelumnya, terdapat dua pasal pada pemakzulan pertama Trump. Pasal I adalah penyalahgunaan kekuasaan dan Pasal II adalah menghalang-halangi tugas Kongres. Anggota Partai Republik Mitt Romney, satu-satunya senator yang memberikan suara untuk menghukum presiden partainya sendiri dalam sidang pemakzulan. 

Setelah berbagai drama terjadi, persidangan berakhir dengan pembebasan Trump dari pemakzulan. Mengutip ABC News, Senat AS memilih suara 'tidak bersalah' dengan selisih 52-48 pada Pasal I pemakzulan. Sementara sebanyak 53 suara memilih tidak bersalah pada Pasal II pemakzulan. Keduanya jauh dari mayoritas 67 suara yang dibutuhkan untuk memvonis Trump dan mencopotnya dari jabatan presiden. 

Kembali Dimakzulkan

Setahun berlalu, kini Trump kembali menghadapi pemakzulan. Ia menghadapi pemakzulan seminggu menjelang dirinya melepaskan jabatan  sebagai presiden. Partai Demokrat telah mendesak Wakil Presiden AS Mike Pence dan Kabinet untuk memulai proses yang lebih cepat untuk menyingkirkan Trump melalui Amandemen ke-25. Namun Pence menolak, dengan alasan langkah tersebut "bukan kepentingan terbaik Bangsa kita atau konsisten dengan Konstitusi kita."

Mengutip CNBC, Ketua DPR Nancy Pelosi membuka debat pemakzulan di DPR pada Rabu 13 Januari 2021 dengan menyatakan Trump "harus pergi." Berbicara setelah pemungutan suara ketika secara resmi menandatangani pasal pemakzulan, Pelosi mengatakan dia mengambil langkah "dengan sedih dan dengan hati hancur atas apa artinya bagi negara kita."

"Hari ini, dengan cara bipartisan, DPR menunjukkan bahwa tidak ada yang berada di atas hukum, bahkan Presiden AS, bahwa Donald Trump adalah bahaya yang jelas dan sekarang bagi negara kita," katanya, berbicara di mimbar di mana seorang perusuh berfoto saat keluar dari Gedung Capitol seminggu sebelumnya.

Meskipun segelintir Partai Republik memilih untuk mendakwa Trump, sebagian besar perwakilan Partai Republik menentang upaya tersebut. Pemimpin Minoritas DPR Kevin McCarthy mengatakan bahwa Trump "memikul tanggung jawab" atas kerusuhan tersebut, tetapi dia menyebut pemakzulan sebagai "kesalahan" tanpa penyelidikan atau pemeriksaan.

“Pemungutan suara untuk mendakwa (Trump) akan semakin memecah belah bangsa. Pemungutan suara untuk mendakwa akan semakin mengobarkan api perpecahan partisan, " katanya, seraya menyerukan resolusi untuk mengecam Trump.